Tepat seminggu yang lalu aku dikagetkan dengan munculnya notifikasi whatsApp dari nomor pondokku dulu, admin menyampaikan amanah Abah Kyai yang ingin bertamu ke rumahku malam ini. Kutanyakan kepadanya, tapi ia mengatakan Abah Kyai hanya ingin bersilatuhrahmi.
Aku menunggu kedatangan Abah dengan hati yang berdebar, meskipun dulu aku dengan keluarga ndalem dikatakan akrab tapi tak mengurangi rasa gugupku, keluargaku dengan ndalem bisa seakrab itu, karena dulu kakek dari pihak bapak adalah kawan mondoknya Abah waktu di Sidoarjo.
Suara deru mobil didepan rumah semakin membuatku deg-deg an, karena telah lama aku tak berjumpa dengan beliau, seusai boyong 3 tahun yang lalu. Aku beserta ayah, ibu, kakek, dan nenek keluar menyambut kedatangan beliau, beliau ternyata tidak datang sendirian melainkan dengan Bu Nyai, ummi Hana'. Terlihat juga supir legend pondok kang mulki yang ternyata masih anteng mengabdi pada Abah, dan juga ning Sofi yang menggandeng putri pertamnya beserta suami gus hadi yang menggendong putra keduanya.
Lagi lagi aku dikagetkan dengan seorang pria bertubuh tegap, tinggi, berhidung mancung, beralis tebal, yang selama ini di gadang gadang sebagai pewaris estafet pesantren oleh santriwan dan santriwi, ia adalah Gus Fahmi, putra bungsu abah yang jarang sekali aku melihat kehadirannya di lingkungan pesantren, karena sejak ia kecil sudah mondok, dan terakhir kali sebelum aku boyong mendengar kabar beliau menuntut ilmu di negara timur tengah.
Abah mengucapkan salam yang serempak ku jawab beserta keluarga. Abah merangkul kakek, layaknya kawan lama yang bertahun tahun tak berjumpa, ku menyalami ummi dengan takdzim dan juga ning sofi, dan ku telangkupkan tangan didepan dada ke Abah dan juga gus hadi.
Disaat aku melakukan hal yang sama ke gus fahmi, raut mukanya sangatlah datar, tak seperti saat bersalaman dengan keluargaku. Entahlah mungkin ia jaga image.
"punten mbak!" panggil kang mulki menghentikan langkahku yang hendak ikut menyusul kedalam.
"pripon kang?"
"niki bantuin bawa bingkisannya ummi damel keluarganya sampean".
Akhirnya aku memenuhi instruksi kang mulki yang menuju bagasi mobil, membantu membawa bingkisan ummi yang terhitung ada 5 parcel kedalam rumah".
"Nduk, sinio " panggil mbah kung yang menyuruhku mendekat padanya.
Aku berjalan mendekat dengan menggunakan lutut subagai tumpuan, dan duduk diatas lantai karena menghormati yang lebih tua, terlebih disini terdapat keluarga para guru-guruku.
"sekarang sibuk nopo mbak?" tanya ummi Hana' padaku
"ngajar ten Madrasah Aliyah mi, sama lanjut kuliah lagi."
"lanjut S2 ya? " kini abah yang bertanya.
"Injih bah" jawabku dengan menganggukan kepala takdzim.
"umurmu ini berapa mbak lia?"
"25 bah"
"walah wes pantes gadah putro setunggal, sampun gadah calon nopo dereng"
"dereng bah" jawabku malu malu
Bukan karena aku tidak laku dengan umurku yang sekarang, tetapi karena bulemu menemukan yang klik dengan hati nuraniku, setiap kali ada laki-laki yang berniat mempersuntingku, belum dapat ku terima.
"Rasyid, Pak Subhan saya kemari ini ingin bersilatuhrahmi, dan juga punya satu niat lainnya, anak bungsuku fahmi ini satu tahun yang lalu sudah wisuda studynya di mesir, umurnya sudah 30 tahun, saya mewakilinya meminta putri sampean menjadi istrinya, angsal nopo mbten?"
"saya menerima dengan senang bah, saya mengizinkannya, tapi saya kembalikan lagi ke putri saya" jawab abah dengan keputusan yang sangat cepat.
Semua orang menatapku penuh dengan harap, ku tundukkan pandangan dan memberanikan diri melihat keberadaan gus fahmi yang juga menundukkan pandangannya. Aku bimbang harus menerima atau menolaknya, hati kecilku merasa bahagia jika diperistri olehnya, lelaki tampan dengan sejuta pesonanya, ilmu yang dapat diandalkan dan juga keshalehan yang tak diragukan lagi. Tapi akal ini menolak, karena apalah dayaku yang hanya santri abahnya. Tapi terbesit nasihat nasihat yang pernah kudengar, hitung hitung ngabdi pada abah dan dawuhnya.
Aku memantapkan hati, seraya mengucapkan basmalah semoga ini menjadi keputusan yang tepat, dan aku mengatakan iya sebagai jawabanku, mungkin ini sudah ketetapan takdirnya Allah.
Umi Hana' memberiku cincin emas polos, dan memasangnya di jari manis sebagai tanda pinangan diterima. Acara akad pun dibahas malam ini yang akan dilaksanakan satu bulan kemudian dirumahku, dan resepsi unduh mantu di ponpes As salam satu hari setelah akad.
*****