Gadis berusia 17 tahun itu terus menatap ke layar monitor laptopnya yang dihiasi tempelan-tempelan lucu dan unik. Ia tidak memedulikan lelaki dihadapannya yang sedang mengepalkan tangannya menahan amarah. Ingin sekali ia menutup kasar laptop itu, lalu melemparkannya ke lantai dan segera menumpahkan amarahnya yang sedari tadi ditahannya. Namun, lelaki—yang memiliki paras, bentuk, dan warna wajah sama dengan gadis di depannya—ini tidak dapat melakukannya. Karena gadis ini sama keras kepalanya dengannya yaitu mengharuskannya untuk mengganti rugi dengan uangnya sendiri—meski orangtua mereka orang kaya.
"Iin, pokoknya gua gak mau tau lu harus betulin sepeda gua! Ini semua, kan, gara-gara elu!" bentaknya.
Gadis yang sangat mirip dengannya memutar bola matanya, lalu menatap kembarannya dengan malas. "Apaan, sih? Biasanya juga lu bisa betulin sendiri. Lagian, kan, gua gak keras-keras amat ngedorongnya?" elak gadis itu yang memiliki nama Iin.
"Tapi, kan, tetep aja elu yang ngedorong. Sepedanya mau gua pake buat latihan besok. Bruruan betulin atau enggak...." Uun, kembaran Iin sengaja menggantungkan kalimatnya agar Iin takut terhadap ancamannya. ".... gua bakal rusak sepeda lu juga. Biar besok kita gak usah latihan bareng-bareng." Tawanya mengancam.
Iin membelalakan matanya , kaget atas ancaman Uun. Mau bagaimana pun juga ia harus ikut latihan besok, agar ia bisa masuk seleksi minggu depan. Dengan wajah cemberut, Iin keluar dari kamarnya tanpa mematikan laptopnya, berniat membantu Uun memperbaiki sepedanya. Uun menahan tawanya yang ingin meledak ketika melihat tingkah Iin. Samar, Uun menggelengkan kepalanya. Kemudian melangkah keluar dari kamar Iin dan berbisik kecil, "1-1, Twins." Senyumnya penuh kemenangan.
"Uun! Udah selesai, nih. Gua tinggal ya, pengen mandi." Rupanya Iin telah selesao memperbaiki sepeda Uun yang memang ada beberapa bagian yang bengkok dan rantai yang lepas. Tak heran jika Iin dapat menyelesaikannya dengan baik dan cepat. Karena di club sepedanya dan Uun diajari cara memperbaiki dan memodivikasi sepeda.
Iin berjalan memasuki rumahnya yang besar. Ketika sampai di ruang TV lantai atas, ia mendapati Uun sedang terjongkok sambil memegangi kepalanya. Sesekali ia mengerang kesakitan. Iin pun menghampiri Uun dan berdiri dihadapannya.
"Kenapa lu?", tanya Iin. Uun tidak menjawab, ia terus mengerang yang membuat Iin sedikit khawatir. "lu kenapa, sih? Sakit kepala? Pusing? Apa kebentur meja?ih! lu kenapa sih? Jangan kayak gini dong! Gak lucu." Tanyanya bertubi-tubi. Perlahan ia mendekati Uun dan menyentuh tangannya yang memegangi kepalanya. Kening Iin berkerut heran sekaligus khawatir. Tangannya meremas lengan Iin dan menyandarkan kepalanya pada bahu Iin. "Argh! Sakit, In!", teriaknya pada Iin. Ia tidak tahu bagaimana caranya menolong Uun, sehingga yang dapat dilakukannya hanya memanggil pekerja rumah tangga dengan kencang. Seorang wanita tua datang menghampiri mereka berdua.
"Ada apa, non?" tanya wanita tua itu dengan sopan.
"Ini Uun kepalanya sakit. Tapi kayaknya bukan sakit kepala biasa."
"yaudah saya panggil Mang Kadir dulu buat bawa den Uun ke rumah sakit."
"iya, Bi. Tolong."
Uun pun dibawa ke rumah sakit bersama Iin dan Mang Kadir. Di rumah sakit, Uun langsung dibawa masuk ke ruang UGD. Keadaannya sama, masih memegangi kepalanya dan berteriak kesakitan.
Sudah 2 jam Iin dan Mang Kadir menunggu Uun yang masih berada di dalam. Tak lama, orangtua mereka datang. Iin yang memberi tahunya.
"Gimana keadaannya?" salah satu dari mereka bertanya kepada Iin yang sedang memeluk Ibunya.
Iin menggeleng menjawab pertanyaan Ayahnya. "daritadi belum ada dokter atau suster yang keluar." Suaranya serak seperti ingin menangis.
"sshh.. gak akan ada apa-apa kok. Uun pasti baik-baik aja." Tenang Ibu.
Akhirnya seorang dokter datang menghampiri mereka.
"keluarga Irfannul Khairun?", tanyanya pada mereka.
"ya, benar." Jawab Ayah yang sudah berdiri dihadapan sang Dokter.
"Mari ikut saya."
Ayah terlihat bingung sekaligus khawatir. Pasti terjadi apa-apa, pikirnya. Ayah melihat Ibu dan Ibu pun segera menghampirinya yang seperti telah dikomandokan melalui tatapannya. Iin yang melihat itu mengernyit heran. Ia berpikir, kenapa tidak disini saja? Apa ada sesuatu hal yang terjadi pada Uun? Tidak mungkin. Iin pun menggeleng menyadari pikirannya yang buruk.
****
Lima hari telah terlewati, namun keadaan Uun belum juga membaik. Tidak ada yang memberi tahu apa yang terjadi pada Uun. Suatu hari pernah Iin bertanya apa yang terjadi pada kembarannya itu, tapi jawabannya Uun hanya terkena tifus. Iin tak mempercayainya. Ia marah pada orangtuanya terhadap apa yang telah disembunyika oleh mereka mengenai Uun. Seakrang disinilah ia, duduk di samping Ibunya yang menghadap Uun yang sedang tertidur pulas. Sudah beberapa hari ia tidak berbicara pada sedikit pun pada Ibu mauopun Ayahnya. Rasa menyesal menghantui Iin. Tidak sepantasnya ia berlaku tidak sopan pada orangtuanya. Namun, rasa kesal yang teramat mengalahkan semuanya.
Erangan Uun menyadarkan keduanya dari lamunan panjang. Erangan Uun semakin jelas. Merasakan sakit dikepalanya.
"hei-hei! Jangan dipegangin terus." Saran Iin seraya menurunkan tangan Uun yang memegangi kepalanya.
"kamu mau makan?" ucap Ibu menawarkan pada Uun yang dibalas anggukan. Ibu pun menyuapi Uun, sedangkan Iin yang sedang duduk di sofa kamar inap itu hanya melihatnya dalam diam. Kedua tangannya terlipat di depan dada, menandakan bahwa terselip rasa iri. Melihat Ibu yang penuh kasih sayang menyuapinya, tersenyum lembut, dan memegang tangannya. Sangat berkebalikan dengannya yang seperti tidak diperhatikan. Bahkan Ayahnya sampai marah atas tingkah laku Iin yang kurang sopan setelah kejadian itu. Mengingat kejadian itu, membuat Iin ingin menangis. Iin pun segera keluar meninggalkan ruangan. Saat dipintu, Uun berteriak.
"mau kemana lu?"
"latihan!" jawabnya asal. Uun dan Ibu mengernyit heran. Seingat Uun tidak ada jadwal latihan untuk hari ini. Tapi, Iin sudah pergi.
Sesampainya diparkiran rumah sakit, Iin bingung harus pergi kemana untuk menenangkan hati dan pikirannya. Selintas sebuah ide muncul diotaknya. Iin segera mengambil sepedanya yang terparkir rapi dan mengayuhnya menuju suatu temapat.
****
Seburuk apapun perasaannya, Ia selalu menyempatkan diri unutk latihan. Kini, Iin sedang mengayuh sepedanya mengelilingi sebuah lapangan—yang cukup luas—untuk kesekian kalinya. Peluh bercucuran dipelipisnya. Iin tak henti-hentinya mengayuh sepedanya , hingga akhirnya ban depan menabrak sebuah batu besar yang menyebabkan Iin jatuh tersungkur ke jalanan berbatu. Iin meringis ketika merasakan perih pada lutut dan telapak tangannya. Perlahan air mata jatuh dari sudut matanya. Entah ia menangis karena perih atau karena masalah yang sedang membebaninya. Setelah merasa tenang, Ia membawa sepedanya kembali ke rumah sakit.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
HAMPA (cerpen)
Short StoryIntanul Khariun. Gadis berusia 17 tahun yang harus menerima kenyataan pahit bahwa kedua orangtuanya menutupi fakta penting. Bahwa kembarannya sendiri menderita kanker otak. Ia pergi meninggalkan keluarganya hanya untuk membuktikan bahwa ia marah. T...