Epilog

180 6 0
                                    

Sudah tiga tahun ini ia tidak bertemu keluarganya. Rasa rindu yang teramat sangat membuatnya tidak bisa tidur. Namun apadaya, Iin mengetahui dari teman lamanya di Bandung yang selama ini tinggal bersamanya mengatakan bahwa keluarganya pindah ke Singapura. Uun sedang menjalani pengobatan.

            "In, lombanya mau mulai tuh!." Tegur Neti menyadarkan lamunannya.

            "Oke siap!"

            Iin pun keluar dari dalam tenda sambil membawa sepeda kesayangannya. Ini adalah perlombaan terbesar yang pernah diikutinya. Andai kalian ada disini, batinnya berbicara.

            "Mari kita sambut perwakilan dari negara Indonesia, Intannul Khairun!." Namanya terpanggil dan membuat penonton bertepuk tangan menyambutnya.

            Do'anya tercapai. Di barisan penonton ada Uun, Ayah, dan Ibunya yang tersenyum ke arahnya. Iin menangis. Ia tak kuasa menahan deraian air mata. Ia berlari menuju tempat mereka duduk. Dipeluknya dengan erat oleh Iin. Melepaskan rasa rindu yang terpendam selama ini.

            "gua tau lu pasti ada disini." Bisik Uun ditelinganya.

            "Gimana keadaan lu?" sahutnya.

            "gua sembuh." Cukup dua kata saja membuat Iin kembali menangis.

            "yaudah gua mau balik lagi. Do'ain ya Bu, Yah?"

            "iya, sayang. Maafkan Ayah waktu itu." Iin pun mengangguk.

            Mereka tersenyum lembut padanya. Iin terkekeh disela-sela tangisnya.

            Iin berjalan menuju posisi start setelah namanya kembali dipanggil. Iin pun memulai start dengan baik. Ia melewati pepohonan besar, semak belukar yang sedikit ditebas untuk jalan. Menuruni bukit terjal. Tanpa disangka-sangka ada seseorang yang menyalipnya. Iin pun menghindar, namun ia terjatuh ke dalam jurang. Berguling-guling hingga akhirnya kepalanya terbentur batu. Iin pun meninggal di tempat. Orangtuanya terkejut setengah mati. Ibunya berteriak histeris ketika melihat tubuh Iin terkulai lemas dengan kepala berlumuran darah. Sedangkan Uun terlihat sangat terpuruk. Ia terduduk lemah di bawah pohon dengan hati yang tercabik-cabik.

            Uun kembali menghajar orang yang telah menyalip Iin tadi. Meluapkan emosinya ke dalam bentuk kekerasan.

            "gara-gara lu Iin jadi jatoh!" bentaknya. "kalau lu gak nyalip, Iin gak mungkin jatoh!!"

            "gua gak sepenuhnya salah. Menyalip dalam lomba itu sah! Lagian salah ade lu sendiri kenapa ngehindar? Dia kan bisa ngedorong gua." Sahut orang yang dipukul Uun.

            "alah.. alasan!" Uun kembali memukulnya. Sebenarnya Uun tidak tahu yang sebenarnya terjadi. Namun, emosi sudah menguasai dirinya.

****

            "asal kamu tahu, kamu gak salah, sayang. Bukan kamu yang nyebabin Uun kena kanker otak. Tapi mungkin Allah swt. yang memberi cobaan pada Uun dengan cara itu." Ibu menangis di depan makam Iin yang masih basah.

            "Thanks, In. Lu udah bikin hati gua ancur lagi. Lu udah bikin gua kesepian lagi. Lu jahat, In!" omel Uun disela-sela tangisnya. "sekarang gua jadi anak tunggal. Bukan bagai pinang dibelah dua lagi. Karena pinang itu gak akan pernah bisa dibelah lagi seperti pinang sebelumnya."

****

            Kini, hidup Uun terasa hampa. Sebelah jiwanya telah pergi untuk selamanya. Hari-harinya tidak dijalani seperti biasanya. Tidak ada teman untuk bersepeda bersama. Tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi, karena ia tidak memiliki teman debat. Tapi, kehidupan harus tetap dijalani. Meski tidak ada Iin yang melengkapi hidupnya. Ia masih memiliki orangtua yang menemani hidupnya.

            "gua janji bakal menangin lomba itu buat lu 3 taun lagi." Janjinya untuk Iin yang sudah tenang di akhirat.

HAMPA (cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang