kedua

147 14 0
                                    

Tw // mental issue, mental conditions, trauma, self-harming actions.

Ternyata, lepas dari hari itu, Radit malah makin gigih menyiksa orang yang dulunya katanya 'dicintai'nya. Kondisi Serin melemah, selain ruam merah yang menyebar di seluruh tubuhnya, terkadang isi perutnya keluar sebagai reaksi psikosomatis terhadap trauma yang naik ke permukaan tersebut. Rasanya, Serin ingin menenggelamkan dirinya dan berhenti bertahan. Untuk apa ia bertahan sekuat tenaga kalau usahanya digagalkan oleh oknum yang justru menjadi pusat keresahan dan ketakutannya.

"Serene," Radit mengetuk pintu bilik kamar mandi tempat Serin bersembunyi. "Lo nggak papa?"

HOEKK!

Serin kembali menumpahkan isi perutnya yang kini tinggal cairan bening. tenggorokannya udah sakit banget karena perutnya udah nggak ada isinya lagi, tinggal air dan asam lambung yang keluar. Serin keluar dari bilik dengan wajah lunglai, udah nggak bisa lagi ngelawan Radit. Dengan segenap tenaga yang tersisa, Serin mengangkat tangannya untuk menepis tangan Radit yang hendak membelai rambutnya yang sudah basah oleh peluhnya.

"Kamu nggak usah sok perhatian sama aku. Gara-gara kamu aku jadi begini. Tolong pergi. Kalau aku harus tenggelam di lautan, biarin aku tenggelam. Aku nggak butuh pertolongan kamu," ucap Serin lemah. Keadaannya tak berdaya, ia mau lawan bicaranya tahu kalau Serin nggak mau lagi Radit berkeliaran di sekitarnya. "Aku nggak butuh simpati dari belut listrik jahanam kayak kamu."

Sayangnya, si belut listrik ini nggak serta-merta meninggalkan Serin. Dia justru mengekor sang omega di sepanjang koridor yang udah agak kosong tersebut. Waktu itu udah lewat jam 17:00 yang berarti jam kerja sudah berakhir dan beberapa karyawan termasuk Riel dan Kaffa sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Yang tersisa di lantai mereka tinggal Serin dan Radit. Berarti, walau Serin berlagak kuat, panik itu bakal menyerangnya kalau Radit sewaktu-waktu memojokkannya.

Dan benar saja, Radit tiba-tiba mendekat dan mengungkung Serin di tembok putih yang ada di belakangnya. "Lo nggak bisa kemana-mana," ujarnya.

Serin tercekat, takut, tapi sudah tak ada lagi energi tersisa untuk melakukan perlawanan. Bahkan berteriak pun sudah tak mampu. Tubuhnya gemetar hebat. Nafasnya tersengal-sengal. Ketakutan menutup netranya. Gelap, Serin nggak bisa lihat apa-apa. Beruntung saat itu, seseorang lewat dan menyelamatkan Serin dari kungkungan setan tersebut.

"WOI! LEPASIN TEMEN GUE, BAMSAT!" suara lantang itu menggema di seluruh koridor. Sang pemilik suara tahu-tahu sudah berada di dekat Radit dan mendaratkan tinjunya di wajah mulus pemuda seratus tujuh dua senti tersebut. "PERGI!" tegasnya lagi.

Tubuh Serin masih gemetar dan dipenuhi keringat dingin. "Rin, Serin, bisa bangun nggak?" tanya alpha yang baru saja menolongnya tersebut.

Serin malah tumbang di tangan orang itu. Tanpa diperintah, si penolong itu langsung membopong tubuh ringkih Serin dan membawanya ke dalam mobilnya. Kemudian dengan hati-hati, ia menyetir mobilnya menuju ke sebuah rumah yang berada tak jauh dari sana. Sebuah rumah yang dihuni oleh tambatan hatinya, Kaffa Hanggara Gautama.

"Kaffa," Si pemuda bertubuh jangkung, berbadan kekar dengan senyum menawan tadi memanggil nama kekasihnya.

Kaffa berlari kecil untuk membuka pintu rumahnya dan betapa terkejutnya dirinya menemui kekasihnya yang tengah memembopong tubuh sahabatnya yang tak kunjung sadarkan diri.

"Kak El?! ada a...--," kedua mata Kaffa membelalak melihat sosok sahabatnya terkulai lemah dalam bopongan kekasihnya. " Sini, Serin ditaruh di kamarku dulu coba," Kaffa membukakan pintu kamarnya agar yang disapa 'Kak El' tersebut dapat meletakkan tubuh lunglai Serin di atas ranjangnya.

"Ceritanya panjang, masih berkisar di si bamsat itu juga, dek. Kakak khawatir banget sama Serin. badannya makin kurus, Fa," pria itu berujar ketika dirinya dan Kaffa duduk di sofa yang ada di seberang ranjang tempat Serin berbaring.

Stay At Home || JoonghwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang