kedelapan

144 9 0
                                    

Beberapa bulan pertama di Aurora diwarnai dengan fase penyesuaian terhadap lingkungan kerja dan ritme kerja yang baru. Bukan cuma buat Serin, tapi juga buat Riel, Kaffa, dan Yael. Untungnya, tipe kepemimpian Marion amat sangat fleksibel. Selama semua pekerjaan mereka berempat terselesaikan, Marion nggak akan ambil pusing. Beruntungnya lagi, Yudha, Kama, Jona, Sidney dan Wesley benar-benar membantu mereka berempat dalam menyesuaikan diri dengan ritme kerja di Aurora. Nggak jarang mereka berempat dikagetkan dengan Marion yang tiba-tiba keluar dari pantry membawa panci panas berisi sup ala Korea buatanannya yang harumnya memenuhi seluruh lantai tempat Aurora beroperasi. Semua, terutama Serin terkejut karena ternyata dibalik perawakan Marion yang tinggi, besar, berwibawa, dan menakutkan itu, Marion justru sosok yang jago memasak.

"Udah, gue aja yang masak, Mar. Lo sama anak-anak kan baru balik dari proyek," Serin menawarkan diri. Hari itu Marion, Kama, Jona, dan Yudha emang baru aja balik dari proyek besar di Samarinda.

"Nggak papa, kak. Gue aja," Marion menggeleng.

"Duduk aja. Hari ini gue yang masak. Kemarin-kemarin pas gue baru masuk kan lo sering banget masakin makan buat kita ngelembur," Serin ngotot.

"Biarin aja, Yon. Ini bahasa cintanya Serin kalo dia udah ngerasa nyaman dan aman sama orang," Kaffa menepuk bahu Marion dan mengisyaratkan si jangkung itu buat duduk dan ngobrol bareng yang lain.

Nggak sampai setengah jam, Serin keluar dari dapur dengan sepiring besar nasi goreng dan beberapa lauk pendamping. Sederhana, memang. Tapi ini bisa bikin kenyang semua orang di tim mereka. "Maaf ya, seadanya banget," ujarnya sambil meletakkan piring besar itu di meja yang biasa mereka gunakan untuk meeting.

"Ini sih sama mewahnya sama masakan Marion, kak," sahut Sidney yang langsung ngambil piring kertas dan mindahin nasi goreng di piring besar itu ke atas piringnya.

"Selamat makan!" Wesley ikutan mindahin sebagian nasi gorengnya ke piringnya.

"Semoga cocok sama lidah kalian ya," Serin tersenyum melihat teman-teman barunya dengan semangat menyerbu masakannya.

"Hmmm, Enak!" seru Jona yang sekarang udah sibuk dengan nasi goreng di piringnya.

"Kalo bahan seadanya aja Kak Serin bisa bikin nasgor seenak ini, berati kalo bahannya berlimpah masakannya bisa lebih enak lagi, dong?" pertanyaan polos dan random ini meluncur dari Wesley.

"Dulu, waktu masih satu kondo, udah berasa makan di hotel tiap hari, Wes," jawab Kaffa.

"Loh, emang sekarang udah pisah?" tanya Sidney penasaran.

Buat yang belum tahu, Kaffa dan Yael udah resmi jadi pasusu muda, beberapa minggu yang lalu. Dan setelah acara resepsi pernikahan mereka, Kaffa dan Yael memutuskan buat menyewa unit yang tepat berada di sebelah apartemen yang semula mereka sewa berempat. Tetap di satu gedung dan lantai yang sama, cuma beda unit aja.

"Kan Kaffa sama Kak Yael udah nikah, Sid. Jadi mereka pindah ke unit sebelah," jelas Riel.

"Lo sama Kak Serin gimana?" celetuk Kama membuat Riel dan Serin saling pandang untuk beberapa saat.

"Kayaknya untuk sekarang ini, kita mau take it slow dulu aja. Walaupun keadaan gue udah jauh banget membaik, tapi gue takut kedepannya gue bakal nyusahin Iyel lagi," Serin menjawab. "Sebelum ini gue udah bikin repot semua orang... ," Serin menunduk sambil meremas apron kelinci yang dipakainya.

"Kak, bukan salah lo, lo harus ngelewatin ini semua," Yudha berjalan ke arah Serin dan memeluk Serin hangat. "Lo nggak ngerepotin siapapun. Pindah ke Aurora adalah pilihan terbaik buat Lo, Kak Riel, Kak Kaffa, dan Kak Yael."

"Kak, gue pernah ada di posisi lo. Walaupun alasannya beda, gue nggak sesempurna itu. Gue paham akan kesulitan lo dan gue menghargai usaha lo untuk bangkit. Gue, Yudha, Kak Riel, Kak Kaffa, Kak Yael, Kama, Jon, Sidney, Wesley, semuanya sayang sama lo. Tapi, lo juga harus sayang sama diri lo sendiri sebelom lo bales rasa sayang kita buat lo," Marion berpidato sambil ikutan meluk Yudha dan Serin.

"Yin, liat sekelilingmu. Semua orang sayang sama kamu. Nggak ada yang ngelihat kamu sebagai beban," bisik Riel.

"Lo nggak perlu sedih lagi, Rin. Kalau lo jatuh, gue yang nangis buat lo. Kita semua yang bakal bantu lo buat berdiri," lanjut Kaffa.

"Kak, one day at a time," Sydney, si paling physical touch, merengkuh tubuh Serin dan menyandarkan kepalanya di pundak Serin. "Walk, don't run," Sydney melepas pelukannya dan tersenyum, ngasih lihat lesung pipitnya yang semanis permen gulali itu.

----

Hari lainnya di Aurora Architecture, saat proyek dan kerjaan tidak menumpuk...

"Kam, lo sama Wesley pernah berantem nggak sih?" Tanya Kaffa pada Kama suatu siang.

"Pernah, kak. Besar banget. Dan itu tentang boyfriend issue," Kama dengan jujur mengakui.

"Seriusan? Kalian pernah suka sama orang yang sama?" Kaffa nampak shock dengan pernyataan Kama barusan.

"Gue, Wessie, sama Sidney dulu satu SMA dan satu kampus... ," Kama mengawali kisahnya. "Sebelumnya Wesley sama gue udah temenan dari kecil dan pas SMA, Sid bergabung di pertemanan kita. Kita bertiga dekat dan Wessie sering cerita ke gue kalo dia suka sama Sid. Tapi gue pun nggak bisa bohong kalau gue suka sama Sid saat itu. Gue simpen itu dalam hati gue sampe suatu saat Wessie marah besar karena dia tau gue PDKT-in Sydney tanpa sepengetahuan dia saat gue tau tentang perasaan dia ke Sidney. Dan hari itu sampai setahun berikutnya dia menjauh. Sidney yang nggak tau apa-apa tentang permusuhan kita jadi kena imbasnya. Tapi, alih-alih menjauh dari gue dan Wessie, Sidney berusaha menyelesaikan masalah persahabatan kita. Dan akhirnya gue bisa move on dan merelakan Sid buat Wessie."

"Tenang aja, lo pasti akan ketemu sama pasangan yang nantinya bakal ngebahagiain lo dan sepadan buat lo," Kaffa merangkul pemuda kelahiran 15 Juni itu sambil meremas bahunya.

"Kalo nggak ada bumbu rebutan alpha gini, persahabatan lo pasti monoton banget," Yael berusaha nyeletuk untuk mencairkan suasana sentimental barusan.

Serin tertawa kecil. "Kalo dulu kamu ngerelain aku dan move on, kita nggak pindah ke Aurora dong, Yang?" Tanyanya sambil menatap Riel yang duduk di sampingnya.

"Itu nggak bakal terjadi, Yin. Soalnya tanpa aku sadari, ikatan itu nggak bisa lepas dari aku. Sejauh apapun si goblok itu narik kamu, aku akan selalu lari ke kamu dan berusaha untuk narik kamu ke pelukanku," Riel tersenyum sambil menggenggam tangan Serin.

"Bersyukur banget bisa nemuin soulmate kayak Kak Hazriel pasti, ya. Bersyukur juga bisa punya lingkungan sekeren kalian. Gue jadi ngerasa gue nggak sia-sia ngebangun Aurora ini sama Mas Yudha. Gue yakin di sini, dengan cerita apapun yang ada di belakang kita, Aurora akan jadi tempat kita semua berlabuh dan bertumbuh," Marion berujar sambil mengepalkan tangannya yang menggantung bebas di samping pahanya.

"Kapan mau nembak Yudha, Mar?" pertanyaan yang meluncur dari mulut Sydney dengan mulus barusan membuat Marion dan Yudha semakin salah tingkah.

"Jangan buru-buru, Mar. Tunggu timing yang pas. Serin, gue, lo, dan Yudha, cerita kita sedikit mirip, jadi saran gue, maju selangkah sampe lo yakin dengan pilihan lo dan yakin bisa jadi pasangan yang sepadan buat Yudha," Riel menatap Marion sambil berceramah.

"Thank you, Kak," Marion membalas sambil mengangguk. Bersyukur Riel memahami kondisinya yang masih berusaha berdamai dengan masa lalunya.

"Mar, kalo gue bisa menemukan kedamaian itu, gue berharap lo juga bisa mendapatkan hal yang sama ketika nanti lo bersama orang yang tepat," Serin berdiri dan merengkuh Marion, tentu dengan izin dari Riel. Serin paham betul trauma yang masih berkecamuk dan bergelut dalam diri Marion membuat lelaki seratus delapan empat senti itu maju-mundur dalam meyakinkan dirinya sendiri akan perasaannya yang mendalam pada Yudha.

----

Bersambung

Stay At Home || JoonghwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang