🌿009

2.5K 310 11
                                    

Suta dan Chandra, sepasang kekasih itu berjalan menghampiri seseorang yang tengah duduk di sudut kantin kampus mereka sambil tersenyum sendiri.

"May!"

Abimaya, pemuda yang sejak tadi tersenyum karena suatu hal pun menoleh, dengan wajah yang dibuat galak dia berseru. "Heh dilarang manggil nama gue begitu!"

"Lah?"

"Cuma Pak Rama sama anak-anaknya yang boleh panggil gue May, kalian nggak boleh niru!"

Satu pukulan pelan Suta hadiahkan di dahi pemuda itu.
"Bulol."

"Bacot, nggak ngaca!" jawab Abimaya sewot.

Kedua sahabatnya mengedikkan bahu. "Btw, tadi lo kenapa senyum-senyum sendiri? Mulai gila karena nggak di notice Mas Rama ya?"

Abimaya membalas pukulan Suta dengan mencubit punggung tangan pemuda itu. "Sembarangan!"

"Sakit, Bi, ish! Itu tangan apa capit kepiting sih?!" Suta mengomel sambil mengusap-usap bekas cubitan maut Abimaya.

"Udah! Udah! Malam ini lo ada acara nggak?" Chandra melerai perdebatan dua orang itu, dan bertanya pada Abimaya.

"Nggak ada sih. Paling bos balik sore, jadi gue bisa balik ke kosan cepet." Chandra dan Suta kompak tersenyum mendengar jawaban Abimaya, membuat lelaki itu bingung. "Kenapa deh?"

"Reuni SMA, sekalian party." Suta menjawab sambil menaik-turunkan alisnya.

"Oh, tapi-"

"Nggak ada tapi, lo harus ikut pokoknya!" sela Suta.

"Kok maksa?!"

"Bukan maksa, sayangku ... kapan lagi kan kita bisa ketemu temen lama disela kesibukan kita?"

"Nah, karena sibuk jadinya gue nggak bisa."

Keduanya menghela napas. "Sibuk apa sih lo? Selesai ngurusin bocil paling balik kosan terus tidur. Sibuk bikin pulau di bantal iya!"

"Anj-"

"Intinya mending lo ikut Bi, Gildan udah nyewa cafe Tantenya buat kita party. Semua biaya juga udah di tanggung dia, lo tinggal dateng bawa diri apa susahnya?"

Abimaya menghela napasnya, percuma dia menolak dengan berbagai alasan, dua lelaki di hadapannya ini keras kepala sekali dan pandai membuatnya luluh seperti sekarang.

"Ya udah iya gue ikut, tapi jemput di kosan. Gue izin Pak Rama dulu biar bisa balik sore."

"Gue udah bilang Mas Rama kok." Suta berucap santai.

"Hah?"

"Dan dia bilang akan pulang cepet hari ini, lo libur aja nggak apa."

"Astaga, ya Tuhan Suta!!!" Suta hanya menampilkan seringai liciknya melihat reaksi Abimaya yang sedari awal sudah dia duga.

Di sudut lain.

"Ajun kenapa, Bi?" Rama terkejut bercampur khawatir melihat Bi Mina datang ke kantornya bersama Ajun yang di gendong oleh wanita berumur senja tersebut.

"Anu, Pak, sejak pulang sekolah Adek memang sudah menangis, Kakak-kakaknya Bibi tanya juga nggak ada yang tahu penyebabnya."

"Mau Daddy, mau di gendong Daddy!" Ajun memberontak dalam gendongan Bi Mina membuat wanita itu sedikit kuwalahan dengan tenaga bocah lima tahun tersebut.

"Ajun nggak boleh seperti itu, kasihan Bibinya."

Ajun tidak mendengarkan hardikan sang ayah, bocah itu berlari dan memeluk kaki Rama, menenggelamkan wajah mungilnya di sana. Lelaki itu menghela napas, merendahkan tubuhnya untuk menyamakan tingginya dengan Ajun. "Ajun kenapa, hm? Ingin cerita ke Dad?"

Bocah itu menunduk saat Rama mencoba mengangkat dagunya. "Lihat mata Daddy ayo, ingat apa yang Daddy ajarkan? Lihat mata seseorang ketika orang itu mengajak Ajun bicara." Bocah dengan airmata yang memenuhi pelupuk mata sipitnya pun menatap Rama, sekon kemudian tubuhnya dihempaskan ke dalam pelukan sang ayah.

"Daddy hiks ..."

"Iya, super hero Daddy kenapa menangis, hum? Ada yang nakalin Ajun di sekolah?" tebakan yang sejak tadi ada di kepalanya itu pun seketika lenyap ketika si bungsu menggeleng membuat Rama bingung. "Lalu, kenapa Ajun nangis?"

"Ajun rindu Mama, Dad. Ajun ingin bertemu Mama, Daddy ayo ke rumah Mama hiks hiks ... "

Dua orang dewasa di sana tercekat oleh pernyataan si bocah. Rama maupun Bi Mina saling bertatapan, mereka memahami siapa Mama yang di maksud oleh Ajun. Bukan, bukan Abimaya, melainkan ibu biologis anak itu. Suatu hal yang kembali membuat dada Rama sesak.

"Iya, besok kita ke rumah Mama ya, sama Kak Sena dan Kak Eza juga. Ajun mau?" bocah itu mengangguk namun masih terisak-isak. "Sudah menangisnya, sayang, nanti dada Ajun sesak."

Rama menggendong putra bungsunya, membawanya ke sofa di sudut ruangan. Mendudukan Ajun di pangkuannya sambil memberikan usapan lembut di punggung sempit bocah itu. "Sudah cup cup, nanti kalau Kakak tahu Ajun sedih, mereka ikut sedih lho. Nggak mau kan ngeliat Kakaknya nangis?"

Ajun menggeleng kemudian mengurai pelukannya itu mengusap airmatanya. "Jangan di kucek matanya, nanti perih." Dengan telaten Rama membersihkan airmata juga ingus di wajah bocah itu menggunakan tisu, kemudian memeluknya lagi.

Rama memerintahkan sopir pribadinya untuk mengantar Bi Mina kembali ke rumah, sedangkan Ajun tetap bersamanya di kantor, dia masih khawatir akan mood Ajun, jaga-jaga saja jikalau si bungsu itu kembali menangis dia tidak akan kesusahan untuk membujuknya lagi. Melihat Ajun kembali tenang, Rama pun melepas pelukan mereka.

Ah, tidur ternyata. Batinnya saat menemukan bocah itu terlelap akibat kelelahan menangis. Rama pun membaringkan Ajun di ranjang kamar yang memang ada di ruang pribadinya tersebut, sedangkan dirinya kembali duduk di kursi kerja.

Sejenak Rama merenung sambil memandangi figur cantik seorang wanita di meja kerjanya. Wanita yang memakai sweater putih dengan rambut yang di gelung menambah kesan manis dan imut dalam waktu bersamaan itu tengah tersenyum sambil memegang kamera hitam di tangannya. Bila di perhatikan lebih detail, di sudut figur tersebut terdapat nama miliknya. Ishaira Saevana, atau yang kita ketahui bernama panggil Vana. Ibu biologis Sena, Eza, dan Ajun.

Rama tersenyum tipis menutup rasa sesak di hatinya, memori kelam itu entah kenapa kembali berputar di kepalanya. Ibu jarinya mengusap lembut kaca figur tersebut, dia menggumam dengan suara seraknya. "Ajun kangen kamu. Salah aku karena terlalu sibuk sampai nggak ada waktu untuk bawa anak-anak ke rumah kamu, maaf. Tapi besok aku akan bawa mereka untuk ketemu kamu juga Mas Reka. Semoga Kakak dan Mas bahagia di sana ya."



- t b c -

Ingat nggak sosok Vana yang sejak awal terus aku singgung? Sekarang baru aku ungkap setengah jati dirinya xixiixii ... hayooo siapa yang ngira Vana ini istrinya Rama? kalau ada yang nebak demikian, maka sudah jelas jawabannya adalah SALAH!!!! Wkwkwkwk, bukan ya l, Vana ini bukan istrinya Pak Rama. "Terus Vana siapanya Rama dong, yon?" Nah, nanti di chapter lain akan kembali aku bahas secara detail tentang sosok Vana ini yaa. Maka dari itu, stay terus bersama Dolce, okay? See you!

[END] Dolce | HeeJayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang