chapter 3

11 5 0
                                    

"Cepetan lelet! Lama banget jalan. " ucap Kevin, membuat Anza menambah tempo berjalannya.

"Ada apa? " tanya Anza sesampainya di depan meja Kevin dengan menunduk dan dan hati terdanga menahan emosi yang hampir meluap.

"Jual apa lo? " nada ketus dan sok berkuasa Kevin bertanya menambah rasa emosi Anza.

"Gelang. Mau beli? Murah kok, 5000 dapat satu" jawab Anza sambil menawarkan dagangannya walaupun yakin Kevin tidak akan membelinya melainkan dia pasti akan meledeknya.

"Alah, barang kayak gini siapa sih yang mau beli" ledek Kevin.

"Ada kok tadi" jawab Anza, padahal yang membeli masih 5 orang, tetapi dia tetap bersyukur karna barang siapa bersyukur maka akan ditambah nikmatnya.

"Heh bego,  mereka membeli ini, karna mereka kasian lihat lo dengan tampilan kayak pemulung gini." Dengan senyum sinisnya Kevin lanjut meledek Anza.

"Kalau gak mampu bilang" dengan suara lirih Anza berharap Kevin tidak mendengar,  namun suara terlepas seperti terlalu keras dan membuat Kevin mendengarnya, lalu dia segera membalikan badan hendak meninggalkan si elang ganas itu.

"Heh, maksut lo apa ngomong gitu?" sentak Kevin dengan suara kerasnya, memenuhi isi ruangan bersamaan dengan meja yang roboh karna di dorongnya.

"mampus gue, ku kira gak kedengeran" dalam hati Anza, sekarang hanya Allah yang bisa menolongnya.

"Eng..enggak,  gue gak ngomong apa-apa" dengan gugup Anza berucap.

"Lo kira, gue budek? " pertanyaan yang tidak perlu jawaban terlontar dari mulut Kevin membuat Anza semakin pasrah pada keadaan.

"Ma..maaf" kata maaf tanpa rasa ikhlas diselimuti rasa takut terucap dengan gugup oleh Anza.

"Wah lo kurangajar" melompat Kevin dan berjalan menuju Anza yang berjarak 2 meter dari tempat duduknya.

"akhh" suara teriak Anza reflek karna akan menerima pukulan dari Kevin.

Belum sampai pukulan itu, sekitar 5 cm gumpalan tangan Kevin dengan pelipis Anza teriak satu cewek yang tengah duduk di depan memperhatikan kelakuan Kevin kepada Anza itu.

"hei ada ibuk guru" Suara Fitri nyaring membuat Kevin terhenti, kaget dan berdiri, tidak mau berurusan dengan kepala sekolah, iapun segera kembali menuju kursinya dan memperbaiki meja yang tadi roboh di dorongnya.

"alhamdulillah, masih selamat" Dalam hati Anza lega karna nasib baik berpihak padanya. Semua anak kembali ketempat duduknya masing-masing, berjalan Anza menuju bangkunya yang tepat berada di samping kiri Fitri.

"Makasih ya! " Berbisik Anza kepada Fitri, merasa berhutang budi. Karna Anza menggap itu adalah pertolongan.

"Sama-sama". Balas dengan bisikan Fitri tersenyum kearah Anza.

Fitria Zahra Amira gadis cantik berhijab yang merupakan anak orang kaya yakni pemilik sekolah yang sekarang menjadi tempat Anza menuntut ilmu. Dia solehah, baik dan sangat jarang bahkan, hampir tidak pernah berkomunikasi dengan laki-laki. Istri idaman dunia akhirat lah pokoknya.

Senyuman itu membuat Anza meleleh terpesona melihat hamba allah secantik Fitri.

"selamat pagi, anak-anak. Bagimana kabarnya hati ini? " Sapa Ibu guru membuka pembelajaran hari ini.

"Pagi buuk,  baik buk. " serentak Anza dan teman sekelas menjawab pertanyaan ibu guru.

"Baik, pr yang ibu suruh kerjain kemarin, nanti dikumpulkan ya! Sekarang buka bukunya halaman 105!" perintah ibuk guru dengan nada lembutnya.

Seusai pembelajaran berakhir, waktunya untuk mengumpulkan pr, Anza berjalan menuju meja Vera yang berada di tengah samping jendela tepatnya berjarak 2 bangku dibelakang tempat duduk Anza.

"Nih, buku kamu Ver" ketus dan rasa kecewa dia utarakan dengan sepatah kalimat itu. Walaupun sebenarnya dia tidak mau melakukan itu. Namun rasa kecewa dan kewajaran haruslah Anza utarakan supaya Vera merasa bersalah dan meminta maaf kepada Anza.

Anzapun kembali ke bangkunya dengan raut wajah datar. Berharap Vera menghampirinya dan meminta maaf. Namun, harapan itu tetap menjadi harapan, Vera tidak merespon lebih dari kata "trimakasih Anza".

Anza merapikan buku seusai mengumpulkan pr, bersiap untuk pulang karna jam yang tertempel di depan atas papan tulis menunjukan pukul 13.30

Ketika Anza menuju keluar kelas tepatnya masih di pintu Vera menghampiri dan memberikan surat untuknya dan pergi meninggalkan Anza.

Dalam hati Anza celetuk "surat apa ini? " penuh penasaran ingin dia membukanya. Namun rasa laparnya suda tidak bisa dia Anza tahan, dari pada mag mendatang lebih baik pulang dan makan terlebih dahulu.

.....
Sepanjang perjalan Anza berfikir kapan dia akan memiliki motor sendiri, minimal sepeda lah.  Rasa lelah mulai ia rasakan karna tidak lagi Anza bertahan dengan kehidupanya yang sekarang ia rasakan. Setiap detik terasa sangat lama.

Kaki ingin patah rasanya Anza rasakan setiap. Pulang sekolah, setiap hari ia rasakan hal itu. Dibukanya pintu yang terbuat dari kayu itu. Anza mengeluarkan kunci yang sedang ada di kantongnya. Dibukanya pintu itu.

Krek.....
Dibukamya pintu perlahan menandakan penat yang Anza sedang rasakan. Terseret seret langkah Anza masuki rumah sederhananya itu. Lalu  Anza menuju dapur sehabis melempar tasnya ke meja makan yang berada di dapen dapur. Mulai Anza memasak sederhana namun terlihat istimewa bagi sosok yang sedang menahan laparnya itu.

Sreng... Sreng
Gesekan spatula dengan wajan yang Anza perbuat menimbulkan asap beraroma yang mrmbuat perut Anza merongrong ingin cepat menyantapnya. Berjalan Anza menuju kendi berisi air yang sudah diolah ibunya tadi pagi.  Diambilnya air segelas dan diminumnya air itu dengan posisi duduk Anza sangat menikmati kesegaran air yang mengalir dalam tubuh Anza,seperti tumbuhan yang sudah lama tidak di siram, layu dan tak nampak segar seketika berubah menjadi seperti ikan yang sedang berenang di pautan bersih nan segar. Mengurangi rasa penat yang Anza alami.

"Assalamualaikum" dibukanya pintu dan terpanmpang sosok perempuan yang sudah berkepala tiga hampir menambah kepala lagi.

"Waalaikumsalam buk" bersamaan dengan selesainya makanan yang tadi Anza masak. Dihidangkannya makanan itu di meja makan. "Mari buk, makanannya sudah siap" .

Seusai ibuk pergi ke kamar mandi dia duduk di tempat duduk yang selama ini menjadi sandaran pertama setelah ia mencari penat demi menghilangkan penat sang anak.
"Wah enaknya, pintarnya anak ibuk memasak" senyum tipis terukir di wajahnya. "Makasih buk," dengan rasa tersanjung Anzq pun ikut mengukir senyum diwajahnya. Sederhana namun namun hal inilah yang sulit dimiliki oleh Anza yang sudah ditinggalkan oleh ayahnya,  terkadang dia berharap dan menghayal. Andaikan ayah ada. Sempurnalah kebahagiaan sederhana ini. Selesai Anza makan siang seusai ia mandi lalu menuju kamarnya dan mengganti baju.

Berbaring Anza mencoba mencopot penat yang ada di badannya. Hampir terlelap namun sesuatu membuat Anza kembali terbangun. Yaitu surat yang Vera kasih tadi sewaktu disekolah. Diambilnya surat itu dari kantong seragam Anza yang tadi dipakai. Setelah berhasil didapat Anzapun kembali berbaring di ranjangnya dengan rasa penasaran akan isi surat itu.

SKYANZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang