Baru saja kami tertawa bersama, namun kini kami menangis bersama.
Keadaan memang selalu tak terpikirkan dan terencanakan. Semua berubah dengan cepat seperti tak berdaya tertiup angin kencang.
Aku dan Nara mengurung diri di kamar bersama hingga malam hari dan Nara tertidur. Aku pun ikut tidur di sampingnya.
Keesokkan harinya aku membangunkan Nara dan melihat ia terbangun dengan mata yang sembap dan memerah.
"Cepet kamu mandi duluan sana. Nanti kita terlambat" seruku padanya.
"Engga... Aku gak mau sekolah..." jawab Nara lemah.
Aku paling tidak bisa dalam membujuk Nara. Tapi ia selalu punya banyak cara untuk membujukku dan menghiburku.
Aku terdiam.
"Oke kalo itu mau kamu Ra. Aku gak maksa" ucapku seraya pergi menuju kamar mandi.
Aku pun turun ke bawah dan mendapati Mama sedang sarapan sendirian. Ternyata Ayah sudah berangkat lebih pagi.
"Mana kakak kamu?" Tanya Mama dengan sedikit galak.
"Ngngng... Dia lagi kurang sehat Ma" ucapku berbohong.
"Kamu serius?? Jangan main-main kamu ya. Kamu apain kakak kamu sampe dia sakit dan gak masuk sekolah?!" Nada Mama agak meninggi.
Tenggorokkanku serasa tercekat. Aku tak tahu harus beralasan apalagi.
"Bener Ma. Aku gak apa apain dia. Aku..."
"Jangan salahkan Naura Ma. Sebenernya aku yang gak mau masuk sekolah. Aku sehat-sehat aja kok" belum selesai aku bicara Nara tiba-tiba muncul dan menjelaskan pada Mama.
Nara memang selalu datang disaat yang aku butuhkan.
"Sayang... Kenapa kamu gak mau sekolah? Ada temanmu yang menyebalkan? Ayo sayang cepet kamu mandi ya, abis itu kamu sarapan" ucap Mama dengan lembut sambil berjalan menuju Nara untuk memeluknya.
Nara tak membalas pelukan Mama.
"Engga ma. Aku lebih senang di kamar. Aku gak mau disekolah belajarku jadi gak serius gara-gara pertengkaran Mama sama Ayah!" Seru Nara hingga ia tak kuasa menahan air matanya. Lalu ia berlari ke lantai atas. Mama pun terdiam kaku.
"Yaudah Ma aku berangkat dulu ya" pamitku.
***
Sepi sekali rasanya kalau ke sekolah tanpa Nara. Ingin sekali aku cepat-cepat pulang saja.
Setelah bel berbunyi, aku langsung berlari secepat kilat dan mendapati Pak Agus sudah menunggu di depan sekolah. Sampai-sampai aku menutup pintu mobil dengan sangat kencang.
"Ada apa Non kok buru-buru banget?" Tanya Pak Agus heran.
"Gapapa kok Pak hehe udah ayo Pak kita pulang" jawabku.
Aku benar-benar merindukan Nara.
Baru saja aku melangkah masuk ke dalam rumah, suara pecahan piring terdengar sangat kencang. Dan Nara terlihat sedang memandang ke dapur sambil menangis sejadi-jadinya. Aku berlari menghampirinya.
Aku mendapati Mama dan Ayah terus-terusan bertengkar. Suara mereka benar-benar terdengar sangat kencang. Seolah-olah rumah ini sedang diterpa badai tornado yang dahsyat.
"Mungkin emang hubungan kita cukup sampai sini aja! Kita udah gak cocok!"
"Silahkan kamu ceraikan aku... kita cerai! CERAI!!!"
"Nara, Naura, cepat kalian berkemas. Kita akan segera pindah setelah Mama cerai. Dan kalian harus ikut Mama"
Ku peluk Nara yang sedang menutupi telinganya sambil menangis. Ia melepas pelukanku dan berlari dengan cepat ke lantai atas. Ku dengar ia menutup pintu kamar dengan kencang.
Aku menyusul Nara. Ku buka pintu kamar dengan sangat pelan.
"Nara??"
Tak ada sahutan. Pintu terbuka lebar. Aku tersentak kaget ketika mendapati Nara sedang berdiri di atas kursi, di ujung balkon kamar.
"Nara!! Apa yang kamu lakukan?!" Pekikku.
Bahu Nara bergetar, aku mendengar isak tangisnya.
"Nara.. ku mohon jangan lakukan itu Ra.."
"Bukankah kita pernah berjanji untuk selalu bersama selamanya hingga mati?"
"Apa kamu gak sayang sama keluargamu sendiri?"
"Apa kamu tega? Mau meninggalkan kami semua secara sia-sia?"
"Aku gak bisa bayangin Ra hidupku tanpa kamu. Kamulah yang mewarnai hari-hariku hingga menjadi indah. Disaat Mama dan Ayah bertengkar, kamulah malaikat pelindungku untuk selalu menghiburku"
"Disaat Mama dan Ayah memarahiku dan menyalahkanku, kamulah pembelaku Ra"
Dua buah sungai benar-benar telah membanjiri kedua pipiku.
"Naura... Kamu memang saudara kembarku yang sangat sangat aku sayangi. Semua ku lakukan agar aku bisa melihatmu tersenyum bahagia. Tapi, aku lakukan ini demi kebaikan keluargaku sendiri. Aku yakin, penyebab dari semua masalah yang ada di keluargaku adalah aku sendiri. Dan aku benar-benar udah gak kuat kalo harus denger mereka bertengkar" ucap Nara lirih.
"Terima kasih telah menjadi bagian dari hidupku. Terima kasih selalu melindungiku ketika aku dalam bahaya. Kamu akan selalu ada di relung hatiku yang paling dalam. Aku menyayangimu, Naura Avelia Agustaf"
Tiba-tiba, Nara mulai merentangkan kedua tangannya.
"Nara! Kumohon jangan lakukan itu Ra! Jangan!!" Teriakku.
Terlambat.
Nara terjun bebas begitu saja dari balkon kamar yang sangat tinggi karena kondisi kamar kami yang berada di lantai 3.
"NARAAAAA!!!!!!" teriakku histeris.
Tanpa pikir panjang aku langsung berlari menuju lantai bawah. Aku mendapati Nara yang sudah terbujur kaku dan bersimbah darah dibagian kepalanya.
Nara mengalami pendarahan hebat. Aku tak henti-hentinya menangis disamping Nara. Tak banyak yang dapat ku lakukan. Aku hanya bisa menangis.
Mama dan Ayah pun muncul dari ambang pintu dan langsung mendekati aku dan Nara. Keduanya histeris.
Mereka seperti telah menyesalkan apa yang telah terjadi selama ini. Semua sudah sangat terlambat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Wings
Short StorySayapku patah sebelah. Dia, malaikat itu pergi meninggalkanku untuk selamanya. Tak ada lagi canda tawa, kebahagiaan ditengah badai topan, ataupun kedamaian sesaat. Sedangkan aku sendirian disini bersama sayap yang rusak. Namun karena dia telah pergi...