Aku tahu didunia ini Tuhan hanya ada satu. Dia-lah Sang Pencipta yang Maha Agung, yang menguasai seluruh makhluk yang ada dibumi. Termasuk aku dan dia. Ya, dia yang telah menawan hatiku begitu erat, dia yang telah berubah menjadi poros duniaku, dia yang akhirnya membuatku sadar tentang suatu topik yang cukup pelik. Dia yang menyadarkanku bahwa meski Tuhan memanglah satu, tapi tidak dengan Iman kita. Banyak sekali iman yang bertebaran dimuka bumi ini. Begitu pula dengan kami. Kami memiliki iman yang berbeda dan kami begitu kuat memegang iman kami. tak ayal aku merasa sesak, benteng yang membentang diantara kami begitu tinggi dan kokoh.Dia, semuanya tentang dia. Hanya dia yang selalu berada didalam otakku. Dia yang begitu manis dan menawan. Dia yang sebenarnya adalah teman sepermainanku sedari kecil. Dia yang telah menjadi tetanggaku selama 20 tahun hidupku. Dia yang selalu menemani hari-hariku. Dia. Dia. Dan Dia.
******
Pagi ini sama dengan pagi-pagi lainnya, yang membedakannya hanyalah kesadaranku yang beberapa tahun terakhir ini mengganggu otakku. Kesadaran tentang aku dan dia. Kesadaran yang menyakitkan namun mutlak. Kesadaran yang sanggup menyeretku dalam renungan panjang tanpa lelah.
Tanpa terasa kakiku telah membawaku pada pagar sebuah rumah yang sudah aku kenal selama 20 tahun terakhir. Hmm, lucu. Dalam keadaan melamun pun tubuhku masih dengan sadar mengingatnya. Berapa lama aku sudah berdiri didepan gerbang ini? 5 menit -10 menit -15 menit atau malah selama berjam-jam ini aku sudah berada disini?
Hampir saja aku membalikkan tubuhku untuk menjauh jika saja gerbang itu tidak terbuka secara tiba-tiba dan memunculkan dia yang selalu menjadi penguasa poros duniaku. Hari ini kau tetap cantik dengan rambut hitammu. Pipi berlesung pipit yang yang akan terlihat saat kau tersenyum, masih dengan mata yang bermahkotakan irish kecoklatan yang senantiasa menunjukan pendar cahaya yang mampu meneduhkanku. Kulihat wajahnya menunjukkan keterkejutan yang kentara hingga akhirnya berubah menjadi heran saat aku masih belum menjawab teguranmu.
“Hei, sejak kapan kamu disana?. Kenapa tidak langsung masuk, Biasanya juga kamu langsung masuk ‘kan? Ada apa?”
Dia masih menunggu jawabanku dengan sabar. Sementara aku sendiri masih tidak mau mengeluarkan suaraku. Aku masih ingin melihat kedalam keteduhan matanya untuk sedikit menenangkan kegundahanku. Ya, hanya sebentar. Bolehkan?
“Bible, setidaknya kamu harus menjawab saat seseorang bertanya padamu. Oh, bahkan aku bukan lagi seseorang. Aku temanmu. Sahabatmu.”
Sahabat. Terasa sedikit sesak saat dia mengatakan kata itu. Ya, aku memang tidak pernah mengungkapkan perasaanku padanya. Tapi tetap saja rasanya terlalu sakit menyadari dia yang merupakan poros hidupku hanya menganggapku demikian.
“Hmm.”
Jawabku sekenanya. Sejujurnya aku masih ingin bungkam tapi aku juga tidak bisa membiarkannya berwajah kesal seperti itu kan?.
“Hanya itu? Itu bahkan tidak menjawab setengah. Ah, bukan. Bahkan seperempat dari pertanyaanku saja tidak.”
“ Lalu aku harus apa?.”
“Jawab pertanyaanku. Sedang apa kamu disini?, kenapa kamu hanya berdiam diri di depan pintu rumahku dan bukannya langsung masuk seperti yang biasa kamu lakukan? dan hei, jangan hanya menatapku seperti itu. Kamu membuatku gugup.”
Tunggu apa dia bilang, gugup? Apa aku tidak salah dengar? Dan hei, ternyata aku baru sadar kalau wajahnya sedang merona sekarang. Kenapa?. Apakah..
“ Kenapa kamu gugup saat ku tatap?”
Setidaknya aku harus mengklarifikasinya kan? Aku tidak mau kege-eran sendiri. Setidaknya aku harus tahu.
“Itu.. hei, kamu sama sekali tidak menjawab per-”