Aku melihatmu kala hujan. Hujan yang membawaku kepadamu. Hujan yang membuatku melihatmu. Dan hujan juga yang membuatku kehilanganmu.Pertama kali aku melihatmu adalah saat alam sedang berduka. Menangis meraung-raung dengan sangat pilu. Jeritannya begitu memekakan telinga. Aku bahkan bisa merasakan jantungku berhenti berdetak saat mendengar jeritannya. Dan, air matanya dengan sukses membuat badanku basah. Sangat basah.
.
.
.Langkah kakiku semakin cepat seiring dengan tangisan langit yang semakin menjadi. Tak ada satupun tempat berteduh di sekitarku dan hanya ada sebuah taman bermain anak-anak di sana. Aku semakin cepat melangkahkan kakiku ke sana, kupikir aku bisa meneduh dibawah perosotan yang berjarak tak lebih dari tiga meter dari tempatku berdiri.
Langkahku semakin mendekat, dan saat aku sudah benar-benar sampai di sana, meneduh dibawah perosotan, aku melihatmu.
Kau yang memeluk dirimu sendiri menahan dingin. Rambutmu yang hitam telah basah sepenuhnya. Titik-titik air berjatuhan dari rambut basahmu bahkan jaket merah yang kau kenakanpun ikut basah.
Kau menoleh padaku yang datang ketempatmu. Kau memandangku sekilas sebelum akhirnya menggeser tubuh tinggimu, memberiku ruang untuk ikut berteduh. Aku melangkah mendekat, berdiri disampingmu. Kemudian, keheninganlah yang menemaniku dan kau dibawah perosotan itu. Menunggu dengan sabar hingga segala gundah dan tangis alam mereda dan hilang sepenuhnya.
Entah siapa yang telah berhasil membuatnya kembali ceria. Hanya saja sejak saat itu, aku selalu berdo'a agar alam lebih sering berduka, agar aku bisa bertemu kembali denganmu. Ditempat pertama aku melihatmu, ditempat aku menjatuhkan hatiku.
.
.
."Pete, kamu dari mana saja? Kamu sama sekali tidak menjawab telepon dari nenek." Aku memandang nenekku.
Raut wajah nenek jelas menyiratkan kekhawatiran. Sejak kepergian kedua orang tuaku memang kakek dan neneneklah yang kemudian merawatku tanpa lelah. Terselip rasa bersalah karena telah membuat mereka khawatir.
"Maaf, tadi aku kehujanan pas pulang sekolah, jadi aku nyari tempat berteduh dulu." Aku melepas sepatu sekolahku yang sudah basah.
Nenek masih saja menampakkan wajah cemasnya. Terang saja ia cemas, aku yang seharusnya sudah pulang dari sore tadi, tapi nyatanya malah baru sampai kerumah setelah petang.
"Lalu kenapa tidak menjawab telepon dari nenek?" nenek menghampiriku, ditangannya tersampir sebuah handuk berwarna kuning.
"Batere HP ku mati." Aku mendekat padanya dan membiarkan nenek mengeringkan rambutku dengan handuk yang tadi ia bawa.
"Ya, sudah. Makanya, lain kali bawa payung. Kamu kan tahu sekarang ini Bangkok selalu diterpa hujan besar." Aku hanya bergumam menanggapi perkataannya.
Selesai dengan segala celotehannya akhirnya nenek pergi begitu saja setelah berhasil setidaknya sedikit membuat rambutku kering. Dan, berantakan tentunya.
Aku melangkahkan kakiku memasuki kamar mandi. Rasanya begitu lengket dan tidak nyaman. Aku membasuh seluruh tubuhku dengan air hangat dari shower. Begitu nyaman.
Selesai mandi mataku mulai terasa bergitu berat. Pasti karena kelelahan. Menjadi seorang siswa SMA kelas tiga membuatku meluangkan waktu ekstra untuk belajar dan mengikuti tambahan pelajaran hanya untuk bisa lulus ujian negara. Tanpa sadar aku menghela napas. Bosan. Setiap hari harus belajar dan belajar tanpa henti.
Akhirnya kuputus kan untuk segera berbaring di tempat tidur dan mengistirahatkan tubuhku. Bahkan panggilan dari nenek untuk makan malam pun tak kuhiraukan. Yang kubutuhkan sekarang bukanlah makanan, tapi tidur. Beristirahat dengan damai, dan berdo'a besok alam kembali menumpahkan tangisannya. Agar aku bisa bertemu lagi denganmu. Walaupun aku sendiri masih tidak tahu apakah kau akan berada disana lagi besok. Tapi, berharap bukan sebuah dosa kan?.