Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya. Aku yang hanya seorang yatim piatu bisa bertemu bahkan menjadi teman satu kelas bahkan satu bangku dari seseorang dari kasta bangsawan seperti Vegas Theerapanyakun.
Aku pertama kali bertemu dengannya saat aku berhasil masuk kedalam sekolahan elit kaum bangsawan karena beasiswa dari walikota saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Dia yang terkesan dingin dan sedikit menyeramkan untukku yang baru berusia tujuh tahun itu sama sekali tidak pernah berharap satu kelas dengannya. Tapi saat mendengarkan pengumuman bahwa ternyata aku satu kelas dengannya entah kenapa perasaan takut dan ragu yang selama ini bersemayam didasar hatiku menguap begitu saja.
Semenjak saat itu entah kenapa aku selalu berada satu kelas bahkan berbagi bangku yang sama setiap tahun, hingga sekarang saat aku sudah duduk dibangku sekolah menengah. Dia selalu ada di sampingku.
Aku juga tidak pernah membayangkan bahwa dia yang selama ini ada di hadapanku waktu itu adalah dia yang memendam benci dan dendam yang sangat kuat pada klan garis keturunannya sendiri. Semakin aku mengenalnya entah kenapa semakin kuat juga aku tertarik pada kehidupannya.
Semakin sering aku bersamanya semakin dalam juga aku tertarik pada lingkar kehidupanya. Semakin berakar dengan kuat pula rasa yang selama ini aku pendam padanya. Aku yang sangat tergila-gila pada sains ini diam-diam pula mengharapkan Vegas pada suatu hari nanti akan memberikanku sekuntum mawar merah layaknya cerita Cinderella modern. Konyol memang, tapi segala sesuatu tentangnya selalu berhasil membuatku terlihat konyol.
.
.
.“kenapa kamu malah melamun ditengah-tengah pelajaran seperti ini Pete?.”
Teguran dari Vegas sukses membawaku kembali pada kenyataan. Kenyataan bahwa sekeras apapun aku memikirkan dan mengharapkannya, dia tidak akan pernah sanggup ku gapai. Kenyataan pahit yang harus aku telan setiap kali aku memikirkannya.
Aku bahkan dengan konyolnya melamun ditengah-tengah pelajaran seperti ini. haah, benar-benar.
“Tidak ada. Aku hanya sedang memikirkan menu makan malam nanti.” Ujarku sambil tersenyum padanya. Dapat kulihat kerutan di dahinya sebelum akhirnya dia menjawab.
“Tapi ini masih pagi Pete.”
Oh, great!. Aku pasti terlihat konyol sekali sekarang. Dia benar ini bahkan belum masuk jam makan siang dan aku mengatakan sedang memikirkan makan malam?. Benar-benar konyol, eh?. Lalu apa yang bisa aku lakukan sekarang kecuali tersenyum kikuk padanya?. Tapi, oh lihatlah. Vegas tersenyum. Hanya aku yang selalu berhasil membuatnya tersenyum seperti itu. Akulah orang pertama yang melihat senyumnya.
“Apa yang sedang kamu pikirkan sebenarnya?.”
Kamu. Bisakah aku mengatakannya?. Tidak. Tentu.
“Kurasa kamu butuh udara segar untuk sesaat.”
Vegas mendorong sedikit jendela di samping tempat dudukku. Ya, kami selalu berada di sini. Entah sejak kapan kami selalu memilih meja yang berdekatan dengan jendela. Disebelah Ku Vegas terduduk dengan tenang. Ya, ketenangan selalu menyelimutinya. Ketenangan yang selalu berhasil membuatku semakin terhanyut padanya.
“Kamu ingat saat pertama kali kita bertemu?.”
Aku menautkan kedua alisku. Bingung. Kenapa tiba-tiba Vegas mengajakku kembali berputar dengan waktu dan memori? Dan, ayolah bukankah tadi dia yang mengingatkanku bahwa kita sedang berada ditengah-tengah pelajaran?
“Tentu. Kita pertama kali bertemu di sekolah dasar,” ujarku. Tapi kembali kulihat lengkungan di bibirnya. Semakin membuatku bingung.
“Pertama kali kita bertemu adalah disebuah pasar malam saat kita masih berumur 6 tahun. Saat itu ibuku masih hidup.”
