Sudah dua hari lamanya Naya menjalani hidup yang membosankan karena sekolah libur tanggal merah. Aktivitasnya hanya berguling-guling di atas kasur, rebahan, dan merenungi nasib. Meski malam sebelumnya dia sempat keluyuran ke alun-alun kota bersama Ardan hanya demi membeli cireng Mang Sarep, hal itu sama sekali tidak mampu mengusir rasa suntuk yang menempel erat seperti lem alteco di hatinya.
Dia menghempaskan ponsel ke atas kasur, kesal. Benda mungil yang biasanya ramai dengan notifikasi itu kini sunyi senyap seperti kuburan di tengah malam. Tidak ada satu pun pesan masuk. Biasanya, ada saja celotehan receh dari Adipati, lelaki yang gemar mengganggu kesehariannya. Namun, kali ini, Adipati sedang pergi ke luar kota, dan Naya cukup yakin jika sahabatnya memang sedang tenggelam dalam kesibukan.
"Ngapain ya enaknya?" gumam Naya sambil memandang langit-langit kamar.
Dia melirik sekeliling, rumah terasa sepi bagai hutan larangan. Sang mama belum juga pulang dari Bogor, dan satu-satunya adik kesayangannya malah sudah kabur entah ke mana sejak sore.
"Mana rumah sepi banget lagi. Mama lama amat sih balik dari Bogor, terus punya adik satu udah keluyuran aja sore-sore," omelnya sembari memeluk bantal guling.
Naya akhirnya kembali meraih ponsel. Jempolnya bergerak cepat mengetuk aplikasi berwarna hijau, membuka story terbaru milik seseorang yang akhir-akhir ini makin sering menari-nari di pikirannya—Raga. Dalam unggahan itu, hanya terlihat setir mobil tanpa tulisan apa pun.
"Kaku banget jadi orang," cibirnya.
Iseng, dia membalas story itu.
Naya: [Mau ke mana, Ganteng?]
Baru mengetik, dia sudah terkekeh geli membayangkan ekspresi Raga saat membaca pesannya. Mungkin biasa saja, mungkin mengernyit, atau malah senyum miring menyebalkan itu lagi.
Raga Kutub: [Ngapain kamu kepo?]
Naya: [Gue gabut nih di rumah sendirian. Terus lihat story lo jadinya gue reply. Mana tahu lo ngajak gue pergi bareng xixixi.]
Dia menambahkan emoticon ketawa sebagai bumbu. Namun, setelah menunggu lebih dari sepuluh menit tanpa balasan, Naya mulai gusar.
"Lama banget dia balesnya, udah lebih sepuluh menit loh ini," gerutunya.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Balasan dari Raga masuk. Naya segera membuka pesan itu dengan penuh harap ... dan hanya menemukan dua kata yang begitu singkat.
Raga Kutub: [Ya.]
Naya menghela napas panjang, menggeleng pelan. "Salah lo sih, Nay ... berharap sama manusia. Apalagi manusianya modelan kayak Raga," gumamnya lirih, lalu kembali merebahkan diri dengan malas.
***
Naya nyaris melompat dari tempat duduknya saat suara bel rumah menggema bertubi-tubi. Dia menoleh cepat ke arah jam dinding—pukul delapan malam lewat sedikit. Sejak selesai salat Isya tadi, Naya telah duduk manis di depan televisi, terbuai oleh alur sinetron yang sedang tayang. Namun, kini, kenyamanannya terganggu oleh suara bel yang ditekan seperti alarm kebakaran.
"Ini yang pulang mama atau Ardan sih? Nggak sabaran amat!" gerutu Naya sambil berdiri, menepis rasa kesal.
Dengan langkah malas dan wajah kesal yang tidak disembunyikan, Naya menyeret kakinya ke depan pintu. Namun, begitu daun pintu terbuka, matanya membulat tidak percaya.
"Blasteran beruang kutub!" Sosok lelaki yang berdiri di ambang pintu hanya menaikkan sebelah alis dengan ekspresi datar.
"Nggak usah teriak juga kali," sahut Raga kesal.

KAMU SEDANG MEMBACA
Senja di Akhir Batas (Revisi)
RomansaBraga Pratama Athaya hancur saat Amelia Syakira-cinta yang dia perjuangkan sepenuh jiwa-memilih pergi demi pria lain. Di tengah retaknya kepercayaan pada perempuan, Naya Ayura Ningtyas tanpa sengaja hadir dalam hidupnya. Perempuan itu perlahan menun...