"Go-gomenasai." Ujar Hinata gugup ketika secara tak sengaja menabrak seseorang, karena sedari tadi ia hanya menundukkan kepala dengan wajah lesu. Mengingat baru saja ia melihat sebuah peristiwa yang membuat moodnya berubah cepat menjadi buruk.
"Kenapa berjalan sambil menunduk begitu?" Tanya orang itu dengan suara khasnya. Sebuah suara yang terdengar akrab di telinga Hinata.
Perlahan Hinata mengangkat kepala untuk menatap orang yang sedang berdiri di depannya sekarang. Ia berambut ungu dengan tinggi badan diatas rata-rata. Hampir 2 meter. Ia tahu benar siapa orang tersebut. Bahkan karena orang itulah mood Hinata hari ini menjadi buruk seketika. Karena orang itulah sedari tadi Hinata memasang wajah muram, melenyapkan senyuman yang setiap saat diberikan pada setiap orang. Membuat semua orang yang melihat menjadi heran dan cemas karena perubahan sikapnya itu.
Dan sekarang, Hinata malah dipertemukan dengannya. Menambah rasa sedih yang membuncah di dalam hati. Ia memutar mata malas seraya melangkahkan kaki meninggalkan lelaki itu tanpa berkata apapun—layaknya mereka tak saling mengenal satu sama lain.
"Tunggu, Hinata-chin! Kau jangan pergi begitu saja." Ujar Murasakibara Atsushi agak keras.
Hinata mendengar dengan jelas suara Murasakibara namun kakinya sama sekali tak ingin berhenti melangkah. Terus menjauh dan jauh lagi, sampai akhirnya keluar dari gerbang sekolah. Benar-benar menjauh dari makhluk raksasa itu.
Ya, Hinata sudah memutuskan akan menjauhinya. Tak hanya sekarang, namun untuk besok dan mungkin untuk selamanya. Itu keputusan bulat yang tak bisa diganggu gugat. Mengakhiri rasa sakit karena terlalu lama menanam harap akan sesuatu yang tak mungkin terjadi.
Tanpa sadar beberapa butiran bening telah membasahi pipi. Hinata merasa sakit dan sesak mengingat peristiwa tadi. Seberapa keras ia mencoba melupakannya justru hal itu malah terus muncul di dalam otaknya. Bagai kaset rekaman yang senantiasa berputar-putar tanpa henti.
"Kami-sama ... Mengapa ini terasa sakit sekali?" Gumam Hinata lirih sembari memegangi dada, memejamkan mata dan sedikit menahan nafas agar rasa sakit itu sedikit berkurang.
Namun sepertinya cara tersebut tak berhasil. Isak tangisnya malah semakin berat menggambarkan kesedihan yang mendalam. Sesaat ia memutuskan untuk menenangkan diri di sebuah taman yang terletak tak jauh dari sekolah. Tak ingin siapapun tahu bagaimana keadaaannya sekarang.
Sangat tak mungkin jika ia pulang ke rumah dalam keadaan berantakan seperti itu. Yang ada ayah dan kakaknya yang overprotektif akan cemas dan pasti mereka akan menanyakan penyebabnya. Lalu harus bagaimana jika sudah begitu? Ia tak akan mungkin menceritakan semuanya pada mereka. Itu mustahil. Ia terlalu tertutup terhadap perasaannya sendiri meski pada keluarga sekalipun.
Menyedihkan.
Karena sifat tertutupnya itu, sekarang ia hanya bisa menangis sendirian di taman. Meluapkan semua perasaan yang ada dengan tangisan. Mungkin hanya begitu saja yang bisa diakukan. Sesekali menarik nafas dalam-dalam kemudian membuangnya dengan keras, seakan rasa sakitnya ikut keluar seiiring udara yang dihembuskan.
"Murasakibara ..." Gumamnya pelan seakan orang yang dipanggil namanya sedang berada disana.
Ia memejamkan mata, masih memegangi dadanya yang terasa sesak. Setelah jeda beberapa saat, ia kembali berucap: "Aku benar-benar bodoh berharap lelaki tak peka sepertimu akan bisa mengerti perasaanku."
Semilir angin membelai lembut tubuh serta wajahnya.
"Seharusnya sejak awal aku sadar, kalau kau dan Momoi saling menyukai. Bahkan kalian lebih lama saling mengenal dibandingkan denganku." Ujarnya kembali bermonolog.
KAMU SEDANG MEMBACA
FIRST KISS
Fiksi PenggemarBagaimana rasanya ciuman pertama? Dan bagaimana peristiwa itu bisa terjadi? Ini adalah kumpulan cerita mengenai Hinata dan para cowok kece dan tampan dari GOM (Generation of Miracles) yang mengalami ciuman pertamanya dengan situasi dan latar belakan...