Chapter 22 - The Important Thing

195 12 1
                                    

"Kau bercanda? Siapa yang berani mencuri narkoba? Aku bersumpah demi Tuhan, banyak pecandu yang bekerja di sini. Aku yakin pencurinya Shino. Maksudku, apa kau memerhatikannya akhir-akhir ini?"

Naruto selalu bisa menghiburku. Sedikit.

"Ada apa dengan Shino?" tanyaku penasaran. Kami berdua membersihkan tubuh pasien yang tidak responsif; Naruto mengganti sakrum, sedangkan aku menahan tubuhnya. Ini hari kedua terburuk dalam hidupku, dan aku masih belum bicara dengan Sasuke. Tapi, kami berdua bekerja hari ini dan kemarin aku meminta jarak darinya, jadi ini tidak mengherankan lagi.

Dan juga, ponselku masih rusak.

"Pria dewasa manapun yang bersikap seperti dia pasti dipengaruhi obat-obatan. Itu tidak wajar." Dia membasahi kain kasa dalam larutan garam dan mulai membalut luka pasien. Aku menahan napasku agar tidak mencium baunya. Punggungku mulai sakit menahan tubuh pasien ini.

"Aku rasa bukan Shino," ujarku.

"Menurutmu siapa?"

"Entahlah."

"Kau tidak mencurigai seorang pun?"

"Oh, aku mencurigai seseorang," ucapku meyakinkannya. "Tapi, aku bersikap tidak adil, dan mengucapkan namanya keras-keras hanya membuatku merasa seperti bajingan."

Aku sudah memikirkan banyak hal setelah menyuruh Sasuke pergi. Pada akhirnya, ucapannya memang benar—aku tidak punya alasan yang cukup kuat untuk mencurigai dr. Hanako, jadi aku tidak bisa menyalahkannya karena dia tidak setuju denganku. Aku masih marah karena dia bersama wanita itu semalaman, tapi kecemburuanku sudah memudar. Aku yakin aku bisa bicara dengan kepala dingin dengannya hari ini tanpa mengamuk dan melempar ponselku. Shannaro, kalau aku beruntung, kami bisa melakukan make-up sex.

"Kita berdua tahu, aku ini brengsek, jadi mari kita dengarkan siapa pencurinya menurutmu," ucap Naruto. "Ini percakapan antar orang brengsek dan tidak ada orang lain yang akan tahu."

"Baiklah. Aku rasa dr. Hanako."

"Benarkah?" Reaksinya mengingatkanku pada reaksi Sasuke, tapi aku tidak benar-benar peduli kalau Naruto tidak setuju denganku. "Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?"

"Hanya firasatku saja," gumamku samar-samar. Ini benar. Tapi, aku yakin berpacaran dengan Sasuke saja tidak akan menghasilkan firasat seperti ini. Naruto mungkin tidak akan percaya padaku.

"Hmm. Ya, aku mengerti." Dia mulai merobek potongan perban dan memplasternya di pantat pasien. "Maksudku, kau mencuri lelakinya. Gadis-gadis akan menggila kalau itu terjadi."

Aku memutar mata. "Aku serius, Naruto."

"Aku juga serius. Apa kau tidak ingat ada seorang wanita berkendara sampai ke negeri seberang hanya menggunakan popok? Dan, aku hanya mampu berpikir bodoh seperti Shino menjadi seorang pecandu narkoba. Tapi, teorimu jauh lebih dramatis—seorang wanita busuk berencana untuk balas dendam dengan mencoba menyabotase karir medismu. Wow." Dia memberi inisial dan tanggal di pakaian pasien dengan spidol hitam.

"Dr. Hanako tidak busuk," jawabku. "Mereka sudah lama putus sebelum aku datang." Kami membaringkan pasien telentang dan mulai menyelimuti tubuhnya dengan selimut.

"Tidak selama itu. Baru beberapa bulan," dia mengoreksiku.

"Kau ada di pihak mana?"

"Tentu saja aku ada di pihakmu, Birdie. Tapi, aku rasa terlalu mengerikan kalau dia berusaha untuk mencuri obat-obatan di bawah namamu dan menyabotase karirmu." Ucapannya terdengar seperti mengejekku.

"Itu memang mengerikan," ucapku setuju.

"Apa kau sudah bicara dengan Sasuke?"

"Belum. Aku terakhir bicara dengannya kemarin. Kenapa? Apa kau sudah bicara dengannya?"

DOCTOR'S ORDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang