Pagi harinya, Haikal telah bersiap untuk pergi ke sekolah. Jam 5 subuh dia sudah bangun untuk bersiap-siap. Tak lupa dia juga membuat sarapan untuk semua kakak laki-lakinya. Setelah semua dirasa siap, Haikal lantas segera turun kebawah. Dia segera mengambil roti bakar rasa cokelat kesukaannya lalu memakannya sambil berjalan.
Suasana rumah masih sepi. Ya, wajar saja. Saat ini jam masih menunjukkan pukul 05:30 pagi. Tak heran kondisi rumah saat ini masih sepi.
Haikal memang sengaja bangun lebih awal. Dia hanya tidak ingin memicu perdebatan tatkala dia sarapan pagi bersama keenam kakak laki-lakinya. Oleh karena itu, Haikal lebih memilih menghindar saja.
Haikal mulai berjalan meninggalkan pekarangan rumahnya sambil masih mengunyah roti bakar yang ada digenggamannya.
Haikal bersenandung ringan sambil sesekali menikmati pemandangan di kanan dan kiri jalan. Udara pagi yang sejuk tak menyurutkan langkahnya untuk tiba di sekolah. Berbekal tas ransel yang berisi buku-buku pelajaran dan juga buku gambar besar miliknya, Haikal begitu bersemangat untuk datang ke sekolah.
Rasa semangatnya ini bukan tanpa alasan. Kemarin setelah berdiskusi dengan Nandra tentang lomba menggambar yang akan diikutinya, Haikal menjadi lebih percaya diri. Dia tak ragu lagi untuk mengikuti lomba itu. Haikal ingin membuktikan kepada para kakaknya bahwa dia juga bisa berprestasi.
Haikal akan buktikan itu.
Tak terasa, langkah kaki Haikal telah membawanya sampai tepat di depan gerbang sekolah yang baru saja dibuka oleh satpam. Haikal tersenyum ramah pada satpam tersebut lalu segera masuk lebih jauh ke dalam sekolah. Langkah lebarnya membawa tubuh dengan tas ransel dibelakangnya itu masuk ke dalam sebuah kelas bertuliskan "XI MIPA 1."
Berjalan melewati bangku-bangku, lantas segera mendudukkan dirinya pada sebuah bangku pojok dekat dengan jendela.
Haikal membuka tasnya dan mengeluarkan buku gambar besar miliknya. Tak lupa pula dengan sebuah pensil dan juga penghapus yang turut dia keluarkan sebagai alat tempurnya pagi ini. Ya, Haikal ingin menggambar lagi. Hitung-hitung sebagai latihan sebelum lomba nanti.
Baru saja Haikal ingin memegang pensil yang telah diletakkannya diatas meja, suara getar di handphone nya berbunyi
Drtt drtt drtt
Haikal merogoh saku celananya dan mengambil benda yang sedari tadi berbunyi itu. Membukanya dan melihat siapakah yang menelponnya kali ini. Dahi Haikal mengernyit tatkala melihat nama yang tertera di layar handphone nya.
"Kak Joshua is calling"
Begitu nama yang tertera dilayar. Tak menunggu waktu lama, Haikal segera mengangkat panggilan tersebut.
"Kamu kemana saja? Kenapa pagi sekali berangkat sekolahnya? Apa kamu sudah sarapan tadi?"
Itulah serentetan kalimat yang dilontarkan oleh kakak keduanya. Joshua, kakak laki-laki yang cukup dekat dengannya. Tapi kedekatannya itu tak pernah Joshua tunjukkan di depan saudaranya yang lain. Ketika dirumah, Joshua cenderung bersikap tak peduli pada Haikal. Namun, ketika mereka hanya berdua saja, sikap perhatian Joshua mulai muncul. Haikal sendiri tak tahu pasti mengapa kakaknya itu bersikap demikian.
"Maaf kak, aku udah di sekolah. Aku mau ngerjain sesuatu di sekolah makanya hari ini berangkat lebih awal. Aku tadi udah sarapan roti bakar kak. Kakak tenang aja."
Jawab Haikal dengan tenang.Terdengar helaan napas dari seberang sana. "Syukurlah kalau gitu. Uang jajannya masih ada? Kenapa kamu nggak pernah minta lagi sama kakak?"
"Masih ada kak, nggak usah khawatir. Haikal bisa cari uang sendiri kok. Kakak tenang aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelukan Untuk Haikal
Fiksi PenggemarBahkan untuk bertahan saja rasanya sulit. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman namun malah menjadi tempat siksaan paling mematikan. Tiada hari tanpa air mata dan kesakitan. Tubuh dan jiwa ini seolah mati rasa menerima badai siksaan yang ta...