BLURB

8 2 0
                                    

  Aku berada di ruangan yang bukan milikku. Di rumah yang bukan milikku. Dengan pria yang hampir tidak kukenal. Aku ingin pergi, tapi aku tidak bisa. Lagipula aku tidak punya tempat lain untuk pergi. Aku setengah telanjang dan dia berpakaian lengkap, menjulang di atasku sementara aku meringkuk di sudut. Sepertinya aku perlu pengingat lain tentang betapa tidak berdaya dan rentannya aku saat ini.

  Aku diam, seperti yang selalu kulakukan. Satu-satunya suara di ruangan itu adalah isak tangisku yang hampir tak terdengar dan napasnya yang berat. Aku biasanya diam untuk melindungi diri. Diam telah menjadi pilihanku dan mengetahui bahwa dia memilihku karena sikap diamku, itu memotongku seperti pisau tajam. Ini salahku sendiri.

  Aku tidak pernah sangat marah kepada orang tuaku karena mereka meninggal. Apakah aku pernah sedih? Ya. Apakah aku pernah kesepian? Tentu saja. Tapi marah? Tidak. Tidak sampai saat ini. Aku marah karena mereka meninggalkanku. Aku marah karena aku baru berusia lima belas tahun dan harus bergantung pada orang dewasa, yang tidak mencintaiku, untuk melindungiku. Aku marah dengan sistem asuh dan semua orang yang mengecewakanku saat ini dan semua yang datang sebelumnya. Yang paling penting, aku marah pada pria yang berdiri di depanku, menginginkan hal-hal yang tidak ingin aku berikan.

  Haruskah aku bicara sekarang? Apakah itu akan menyelamatkanku? Mungkin jika aku berteriak dia akan berhenti. Aku membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tetapi benjolan di tenggorokanku tidak membiarkanku mengeluarkan sepatah kata pun. Aku memejamkan mata mencoba pergi ke tempat di pikiranku di mana semuanya mati rasa. Aku mendengar ikat pinggang dibuka dan ritsleting dibuka. Perutku melilit dan air mata mengalir di wajahku tak terkendali. []

The Quiet GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang