Ferrin tidak tahu alasan kenapa dia masih tetap bertahan, hanya saja sudah dua jam sejak dia usai menghabiskan hidangan penutup, dia masih juga belum beranjak dari Rumah Rasa. Kata tidak beranjak mungkin berlebihan, tapi secara teknis Ferrin memang belum meninggalkan parkiran resto itu.
Ia masih ingin bicara dengan Nara. Memastikan jika gadis itu bersih dari keterlibatan dengan demonstran dan bukannya karena dia harus minta maaf.
Pukul setengah sepuluh malam ketika Ferrin melihat Nara melenggang keluar dari resto sambil menyandang tasnya. Saat melihat Ferrin berdiri di samping mobilnya Inara menghela nafas panjang dan sedikit menggelengkan kepala lelah. "Aku mau pulang," katanya sebelum Ferrin sempat membuka mulut.
"Maaf, tapi kita harus menyelesaikan ini sekarang juga."
Nara berbalik menghadap kearah Ferrin, menatap dengan mata bulatnya yang terbingkai oleh tebal bulu matanya yang panjang alami. "Aku lelah, Fer."
"Aku tahu," sahut Ferrin dengan wajah muram. "Aku juga lelah, karenanya akan lebih baik jika kita menyelesaikan ini secepatnya." Ferrin melihat Nara memegangi dahinya, bahasa tubuh gadis itu menyiratkan keputusasaan.
Ferrin juga melihat mata Inara yang membengkak, dan dia sadar betapa berengseknya dia sebagai lelaki. Seharusnya dia tidak bersikeras, tapi dia tidak punya cara lain, Ferrin merasa harus memperbaiki apa yang sudah dia rusak. Jika tidak maka terkutuklah dirinya karena sangat tahu seperti apa kemampuan Inara untuk mengacuhkan juga menghindar.
Sembilan tahun yang lalu dia tidak hanya dibuat mengemis pada Inara hanya agar gadis itu kembali bersikap normal setelah mengabaikannya selama setahun penuh.
Lelaki pintar dengan senang hati menjauh dari rajukan, amarah bahkan kesumat gadis merepotkan macam Inara, tapi Ferrin justru merindukan perdebatan, sikap galak, atau bahkan sekedar pelototan dari Inara secepat dia kehilangannya.
"Biarkan aku mengantarmu pulang." Ketimbang perintah itu lebih menyerupai permintaan yang tak dapat di tolak. "Titip saja mobilmu pada salah satu orang kepercayaan dan biarkan ia menjemputmu besok."
Entah karena lelah berdebat atau karena tahu Ferrin tak akan melepaskannya dengan mudah, tanpa bantahan Nara mengangguk setuju dengan ide sepupunya. Gadis itu lalu memberi kode pada petugas keamanan yang shift malam, begitu lelaki muda itu mendekat Nara mengatakan perintahnya dengan suara pelan yang segera diangguki oleh petugas jaga restorannya.
Mereka masuk ke mobil Ferrin dan melaju ke rumah Nara yang letaknya di luar Kota Jambi. Lima menit pertama baik Ferrin maupun Nara sama-sama enggan untuk membuka suara. Tapi Ferrin tahu kali ini dia yang harus memulai pembicaraan.
"Aku tidak akan minta maaf soal yang tadi Nara, jika itu yang kau tunggu dariku saat ini," Ferrin berkata datar, sementara gadis yang duduk di sisinya hanya menghela nafas perlahan sambil mengalihkan pandangannya pada pemandangan di luar. "Kau juga bersalah karena melemparkan tuduhan tidak beralasan padaku juga Bundaku. Jadi kita impas."
"Terserahlah," gumam Nara datar.
Sikap Nara yang bagai tanpa perlawanan membuat Ferrin terdiam, sungguh ia tidak menyangka jika itulah reaksi Nara, padahal di saat normal Nara punya kecenderungan bersikap mudah meledak jika di pancing emosinya.
"Sekarang bukan waktunya untuk saling menyalahkan, bukan?"
"Kau lupa kalau kau yang memulai semua ini," sindir gadis itu dingin.
Ferrin menghela nafas, "Fine, aku minta maaf, oke? Puas!"
Nara mengangguk, bagaimanapun kalau ia ingin semua masalah ini cepat berakhir ia harus bekerjasama dengan Ferrin. Setidaknya mungkin mendengar apa keinginan Walikota muda itu terlebih dahulu.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Mansion(Rumah Warisan)
NouvellesFerrin Attar Thahar baru delapan bulan menjabat sebagai Walikota saat masalah besar yang datang dan membuatnya tak lagi merasakan kenyamanan duduk di kursi Walikota justru berasal dari rumah warisan milik Kakek buyutnya. Rumah itu bukan rumah bias...