Lilin

33 0 0
                                    

"Sa, ada uang gak? Abang lagi butuh uang, nanti bulan depan diganti."

Alisa menghela napas menatap layar ponselnya. Hampir jatuh air matanya, namun ia tahan, ia tak ingin goyah lagi. Deretan status di WhatsApp Story milik Alwin - kakaknya, serta pesan yang masuk sungguh menghancurkan hatinya. Ini bukan kali pertama, ia merasa diperalat. Mengapa kakaknya datang hanya ketika dia butuh? Mengapa ia tak bisa sekadar basa-basi bertanya apa kabar? Apa aku hanya sekadar mesin penghasil uang baginya? Batin Alisa merutuk.

Semenjak ayah dan ibunya meninggal dunia, hidup Alisa benar-benar berubah. Dia kehilangan banyak hal, terutama perasaan dimiliki. Dia merasa bebas, namun kebebasan yang kosong. Hidup hanya berdua dengan seorang kakak laki-laki ternyata tidak mudah, apalagi di lingkungan masyarakat yang punya kebiasaan terlalu sibuk turut campur dengan kehidupan orang lain. Alisa berusaha untuk tidak banyak tingkah, namun Alwin malah sebaliknya. Alwin tidak tahu bahwa adiknya paling tidak suka menanggung sesuatu yang bukan perbuatannya.

Semakin hari rasanya semakin memuakkan. Rumah yang harusnya menjadi tempat paling nyaman, berubah menjadi tempat paling tidak aman. Alisa berpikir untuk pergi. Ia mungkin akan merasa sedih berada jauh dengan tempat peristirahatan orangtuanya, tapi ia akan merasa lebih tidak sanggup jika tinggal bersama kakaknya. Hubungan yang sudah cukup renggang bahkan sebelum ibu meninggal tidak bisa diperbaiki kecuali di antara mereka ada yang mengalah. Sedang Alisa merasa selama ini kakaknya tidak pernah mengalah, bahkan tidak peduli pada masa depan Alisa. 

Alisa memutuskan pergi ke ibu kota untuk memulai semuanya dari awal. Berbekal tabungan yang tak seberapa, ia memberanikan menumpang pada sepupunya. Meski terasa berat, ia menjalani hidupnya dengan semangat, menghabiskan waktunya untuk bekerja. Terpisah jarak, bukan berarti ia memutuskan hubungan dengan kakaknya. Bagaimanapun Alwin adalah keluarganya, kelak ia yang akan menjadi wali untuk Alisa. Namun Alwin ternyata tidak berubah. Ia menghubungi Alisa pun hanya ketika terhimpit masalah uang. Seperti sekarang ini. Kejadiannya selalu berulang. Bermula dari story status WhatsApp hingga pesan langsung yang masuk tanpa pertanyaan apa kabar.

"Sa..."

Alisa yang sedari tadi menenggelamkan wajahnya dalam dekapan tangan mengangkat wajahnya. 

"Ko kamu tau aku di sini, Bum?"

"Ya taulah, ke mana lagi sih kamu pergi Sa... ada apa lagi? Sini cerita"

Lagi-lagi Bumi. Sahabat dekat Alisa di perantauan. Ia sepertinya sudah lebih dari tahu tentang Alisa dibanding siapa pun. Bumi menghampiri dan duduk di samping Alisa. Danau di pinggiran kota ini memang terbilang sepi di malam hari, hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang. Alisa selalu datang ke tempat ini saat suasana hatinya sedang tidak baik. 

Alisa menunjukkan ponselnya pada Bumi. 

Bumi belum berkomentar. Ia tahu, di saat seperti ini Alisa hanya butuh didengar.

"Bum, kenapa sih Tuhan pilih aku? Katanya Tuhan tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan. Tapi kenapa untukku tidak pernah berhenti Bum?"

"Tuhan sayang sama kamu Sa." Bumi menimpali pelan-pelan.

"Dari dulu, Bum. Orang tuaku meninggal, Alwin bercerai, main perempuan lagi, mabuk-mabukan, berutang di sana-sini. Dia menjadikanku alasan untuk berutang bahkan aku tidak tahu sama sekali ke mana perginya semua uang yang ia pinjam itu selama ini." Alisa menarik napas, kemudian melanjutkan ceritanya. 

"Sekarang aku udah kerja Bum, jauh dari dia. Tapi aku tetap gak bisa lepas. Keinginannya selalu aku penuhi Bum meski dengan pura-pura bodoh. Aku tahu dia berbohong saat bilang pinjam uang untuk memperbaiki makam ibu, untuk biaya keponakanku, aku tahu dia bohong Bum. Aku selalu memberi dia kesempatan untuk jujur tapi tidak pernah. Aku paling tidak suka dibohongi Bum..." pecah tangis Alisa, ia hanya terisak. Ia tahu ini giliran Bumi mengambil alih dengan nasihatnya.

Bumi mendekap Alisa erat. Tidak pernah ia merasa sesakit itu melihat orang lain menangis. Ada bulir bening di ujung matanya. Ia seka sebelum tertangkap basah oleh Alisa. Ia mengusap pundak Alisa pelan. 

"Sa, dulu kamu cita-citanya apa sih? Kalau nggak salah kamu ingin bermanfaat untuk orang lain kan? Kenapa nggak berpikir kalau menolong kakakmu itu adalah bagian dari cita-citamu? Aku tau Sa itu sulit. Aku tau kamu pasti berharap kakakmu lah yang harusnya ada di garda terdepan membantumu, peduli tentangmu. Tapi tidak semua hal yang kita inginkan akan berjalan dengan semestinya Sa. Dicoba untuk ikhlas Sa, agar mengalir pahala untukmu, untuk ayah ibumu karena telah mendidik kamu dengan pribadi yang seperti itu."

"Untuk ke depannya kalau memang gak bisa gak apa-apa Sa, kamu tidak perlu berusaha keras memenuhi harapan semua orang, memenuhi ingin kakakmu. Kamu gak boleh jadi lilin yang menerangi sekeliling tapi membakar dirinya sendiri. Kalau kamu bersikeras jadi lilin, aku yang akan meniupnya Sa. Akan aku tiup setiap kali aku ulang tahun, tidak akan pernah aku biarkan lilin itu habis terbakar." Bumi tersenyum getir.

Alisa melepaskan pelukannya. Tapi Bumi masih menggenggamnya erat. 

"Sa, aku ingin jadi seseorang yang lebih buat kamu. Aku ingin membuang satu per satu resahmu." Bumi terdiam menantikan jawaban meski ia tahu apa yang akan Alisa katakan.

"Bum, aku kan udah pernah bilang, kita sahabatan aja. Kamu lebih dari tahu situasiku sesulit apa. Orang tuamu pasti gak akan setuju. Kamu berhak dengan yang setara, sedang aku gak bisa. Aku gak bisa memulai sesuatu sama orang-orang yang meminta segalanya jadi setara. Aku akan kalah sejak awal, dan itu menyakitkan Bum."

Bumi menghela napas. "Saa... itu kan belum terbukti. Itu cuman ketakutanmu aja. Gak semua keluarga sama. Dan lebih penting kamu sudah sangat pantas bahkan tanpa perlu melihat kamu berasal dari mana. Coba Sa, pelan-pelan denganku. Aku akan menemani kamu di setiap prosesnya Sa, proses untuk menyembuhkan luka-luka itu. Dipikirkan baik-baik ya Sa." Bumi menepuk pundak Alisa pelan. Ia beranjak, memberi waktu bagi Alisa untuk berpikir, Bumi tak tahan lagi untuk tak mengungkapkan perasaannya.

Alisa menatap punggung Bumi yang perlahan pergi. Ia membatin.

Bum, aku butuh waktu agar bisa cukup layak di sampingmu.

LANGKAH KAKI #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang