Pernahkah kamu merasa bahwa keputusan yang kamu ambil adalah keputusan angkuh? Keputusan yang sejak awal kamu yakin kamu tidak akan menyesalinya, tapi kini kamu dibuat ragu. Kamu tahu fase ini akan menjadi bagian paling sulit, tapi tidak menyangka akan menjadi sesulit ini.
Entah dimulai sejak kapan, aku merasa setiap harinya rasa kosong mulai mengambil alih hatiku. Aku mengisi hari-hari dengan sibuk bekerja juga beragam aktivitas lainnya, tapi sayangnya perasaan kosong tak terkalahkan. Nikmatnya lelah yang biasanya aku rasakan ketika menghadapi orang lain berubah menjadi rasa takut dan enggan, tidak terkecuali orang-orang yang aku kenal.
"Ah, itu imanku saja yang sedang lemah" tukasku. Aku berusaha memperbaiki ibadahku. Buku islami, podcast, youtube ceramah, bahkan kegiatan yang melibatkan ustad favoritku, aku coba ikuti. Tentu aku merasakan perubahan, tapi belum signifikan. Ibadah kan perlu konsisten ya. Namun rasanya di luar itu, akar permasalahannya belum aku temukan. Atau sebenarnya aku tahu tapi memilih untuk berpura-pura tidak tahu.
Aku berusaha lepas dari rasa kosong itu sembari tetap menjalankan hidup. Namun, ternyata rasa itu terlalu berdampak pada semua hal yang aku lakukan, kualitas pekerjaan bahkan kualitas kehidupanku. Dengan dalih ingin mencoba hal baru, aku berhenti pada pekerjaanku. Ya, semua hal yang pernah aku katakan hanya dalih menutupi bahwa aku sedang tidak baik-baik saja.
Aku, telah hilang arah. Tapi mengakui pada diri sendiri bahwa sedang tidak baik-baik saja bukan keahlianku. Aku lihai menutupi. Aktif bermedia sosial menjadi satu-satunya cara yang bisa aku lakukan, meski kadang di satu sisi selalu ada pikiran bahwa apa aku berlebihan, terlalu mencari perhatian? Entahlah, agak dilematis bahkan untuk menilai diri sendiri. Aku hanya berusaha mengendalikan apa yang bisa kukendalikan.
Hari-hari aku jalani dengan aktivitas yang berbeda, berharap ada yang bermakna kemudian tiba-tiba semangatku bisa kembali. Nyatanya belum. Apa aku harus mencoba pulang?
Wacana pulang tentu sudah sering terlintas di pikiranku. Namun nyatanya saat aku punya banyak waktu luang, aku tidak seberani itu. Apa selama ini kesibukanku hanya sebuah alasan agar aku tidak pulang? Apa pulang semenakutkan itu? Rindu, sedih, kecewa, marah, sesak berkecamuk jadi satu hingga kepalaku sakit setiap kali aku memikirkannya.Terlalu banyak orang yang berlalu lalang di hidupku hingga aku tidak tahu sebenarnya rasa ini perlu aku bagi pada siapa? Sungkan, trust issue, perasaan bisa mengatasinya sendiri, selalu berujung pada perasaan yang terpendam. Isi kepalaku lebih sering berpikir seberapa banyak sih orang yang benar-benar peduli pada kehidupan orang lain? Bukankah mereka pada akhirnya hanya peduli pada dirinya sendiri? Pikiran yang jelek tentunya. Tapi apa yang bisa diharapkan dari seseorang yang isi kepalanya sudah penuh, tidak berpikir untuk mengakhiri hidup saja sudah patut disyukuri.
Sebenarnya, ingin sekali ada yang bisa aku peluk saat ini sambil bertanya aku ini kenapa? Tapi bagaimana bisa jika aku menghindar dari semua orang. Mengambil langkah panjang untuk berjarak. Rasanya aku gak bisa aja menghadapi mereka dengan aku yang seperti ini. Jika ada anugerah untuk manusia dengan ego paling tinggi, mungkin sudah berjejer piala yang kupunya.
Aku ini kenapa?
Aku kesulitan memulai percakapan. Sebagian orang mungkin akan menganggapku tidak asyik. Aku ingin sekali bisa berhubungan baik dengan orang lain, bisa ramah, bisa bertegur sapa, enak diajak ngobrol, tapi sulit. Apalagi jika aku sudah berusaha memulai lebih dulu namun feedback yang aku terima tidak sesuai harapanku. Itu lebih menyulitkan. Membuatku pada akhirnya selalu memilih diam dan berbicara ketika diajak bicara.
Aku mulai rentan sakit. Padahal selama ini aku tidak kesulitan bekerja sama dengan tubuhku. Sampai kadang aku bilang sama Tuhan, kalau harus pergi hari ini gak apa-apa, yang penting dalam keadaan baik. Sepasrah itu karena aku juga nggak tahu caranya mengatasi perasaan ini.
Aku merasa tidak yakin pada diriku sendiri. Terlalu jahat karena harusnya aku adalah orang pertama yang percaya tapi aku selalu merasa tidak bisa melakukan apa-apa.
Aku sulit mempercayai seseorang. Bukankah memulai sesuatu yang baru perlu sekali rasa percaya? Lagi-lagi aku kesulitan. Lelah rasanya untuk bersikap waspada pada seseorang setiap waktu. Pikiran buruk sering kali memenuhi kepalaku. Sangsi dengan segala ucapan manis manusia.
Aku mudah tersinggung pada apa pun yang disampaikan orang lain. Ini bagian yang paling aku takuti. Di satu sisi aku terluka, di sisi lain aku pikir bahwa perasaan ini tidak benar. Apa yang orang lain sampaikan kadang memuat kebenaran, kadang sebuah bentuk kasih sayang. Namun kenapa penerimaanku tidak baik? Apa yang salah dengan aku? Bukankah dulu aku orang yang sesabar itu bahkan untuk perkataan yang benar-benar menyakitkan? Kenapa sekarang malah tersinggung dengan bentuk perhatian?
Aku benar-benar lelah. Aku bisa tertawa dan menangis bergantian di hari yang sama. Tangis yang rasanya sesak karena tidak tahu harus pada siapa aku adukan.
Satu waktu aku menemukan sebuah kutipan di sebuah buku, yang sepertinya ini adalah sebuah alasan, penyebab utama atas segala hal yang terjadi.
"Memaafkan bukan hanya tentang membebaskan jiwa lain dari sangkar kesalahannya, tapi juga membebaskan jiwa kita dari penjara menyalahkan dan menghakimi"
Aku sepertinya masih butuh permintaan maaf itu. Permintaan maaf tulus yang kutunggu bertahun-tahun. Permintaan maaf yang bukan hanya untuk sekadar mempercepat penyelesaian tapi permintaan maaf yang sungguh-sungguh. Penuh kesadaran diri. Meski aku tahu betul aku sama sekali tidak bisa mengubah karakter manusia, tapi aku masih menunggu permintaan maaf itu. Padahal ya, sudah sejak lama aku berusaha melepas, bersikap biasa saja, berusaha menerima. Tapi itu ternyata hanya topengku. Di lubuk hati paling dalam sungguh sesak rasanya hingga sulit bernapas.
Setiap kali pesan masuk ke gawaiku dan berisi banyak permintaan, sesak itu makin menjadi. Kondisi di mana aku menyadari sebuah kenyataan bahwa aku dianggap tak lebih dari sebuah mesin tanpa perasaan. Ketika aku penuhi, hatiku sesak. Aku tidak tahu ini bentuk tidak ikhlas atau hanya kesedihan yang sudah kupendam sejak lama dan tidak pernah nampak. Ketika aku mencoba untuk tidak memenuhinya, ada perasaan bersalah. Ada pertanyaan yang selalu terlintas, kamu setega itu? Padahal pada orang lain mungkin aku bisa memenuhi itu tanpa beban. Bayangkan rasanya bergulat dengan dua perasaan yang tidak ada bedanya. Sama-sama menyesakkan.
Sekarang aku tahu, tindakanku melepas apa-apa yang kupunya kemarin hanya untuk menguji sampai titik mana mereka akan peduli. Dan ternyata, kenyataan untukku memang pahit. Mereka memang tidak sepeduli itu bukan?
Aku ingin pulang. Aku ingin pulang karena rasanya sangat rindu. Tapi aku masih menjaga seluruh perasaanku. Aku takut menjadi tidak terkendali. Atau maukah mereka mencariku? Sekali saja. Aku ingin dicari sebagai seseorang yang mereka rindukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGKAH KAKI #2
عاطفيةUsia dewasa itu memang jauh lebih menakutkan, namun bukan berarti kita tidak bisa menghadapinya. Kita pernah muda, tapi belum tentu akan melampaui masa tua. Jadi marilah hidup menjadi sebaik-baik manusia.