Jangan terlalu percaya diri jika kamu merasa kamu telah mengenal seseorang dengan baik karena sejatinya manusia itu berubah.
Sebuah kalimat yang tidak pernah aku yakini sampai Tuhan menunjukan skenario terbaik-Nya.
–
“Sekarang aku tanya sama kamu, denganku kamu perlu berusaha keras? Capek kan?” Ia bertanya dengan nada pelan. Jelas tergambar di wajahnya perasaan kalut.
“Iya, aku berusaha keras. Berusaha ngimbangin kamu yang emosinya kadang gak diduga, berusaha buat nyesuain timeline kita yang beda. Tapi aku gak apa-apa dengan itu. Aku terima konsekuensinya sejak awal milih kamu.” Kamu hanya tersenyum getir saat itu.
“Iya, tapi aku yang gak mau. Karena harusnya kamu bisa jadi diri sendiri. Kalo kamu merasa harus effort lebih untuk mengimbangi aku, ya berarti kita emang gak cocok.” Katamu menatapku.
Tatapanku sudah mengabur.
Aku tahu. Tahu pasti arah pembicaraan ini akan ke mana. Sesuatu yang paling aku hindari karena aku tidak tahu akan sanggup atau tidak. Karena tadinya kupikir maunya dia saja. Cukup. Aku tidak ingin merengek lagi pada Tuhan untuk dihadirkan sosok lain. Aku mau dia saja. Aku terima baik kurangnya dia, apa adanya. Aku tahu tanpanya mungkin aku sanggup, yang sudah sudah juga demikian. Namun dengannya, aku merasa tidak ingin dua tahunku menjadi sia-sia.
“Ini kita, dulu memang terlalu terburu-buru atau aku yang memang bodoh aja ya?”
“Kita, mungkin terlalu terburu-buru. Aku yang, terlalu penasaran sama kamu.” Katanya mengakui.
“Oh, penasaran. Sekarang bosan?”
Kamu menundukan kepala, belum ada jawaban. Aku terdiam sangat lama. Sampai dia bilang
“Aku takut membuatmu menunggu terlalu lama. Ada banyak hal yang ingin aku lakukan. Kamu bisa memulai hubungan lagi sama siapa pun yang pernah dekat denganmu dulu. Aku dukung. Kita masih bisa jadi teman baik, yang berubah hanya kamu ga akan jadi prioritasku lagi.”
Alih-alih menjawab pertanyaan sebelumnya, dia malah memberi saran yang tidak masuk akal.
“Kamu pikir dua tahunku sampai detik ini, aku lalui tanpa tahu resiko bersamamu? Aku nunggu ko kalau kamu emang minta nunggu. Kamu cuman gak mau aku tunggu kan?” Napasku memburu. Aku tak memberikan sedetikpun waktu untuk dia bicara lagi. Ini bagianku.
“Kamu loh yang datang lebih dulu. Kamu yang pegang tanganku buat yakinin kalau kamu serius. Aku udah bilangin semua hal yang bisa bikin kamu mundur, tapi saat itu kamu gak mundur. Sekarang kamu baru sadar arti mundur yang aku maksud ya. Asal kamu tahu kamu udah buang waktuku dua tahun kemarin, dan akan membuang waktuku dua tahun yang akan datang. Kamu yang paling tahu betapa sulitnya aku buat terbuka sama orang baru tapi kamu menempatkan aku pada situasi seperti ini. Yang kamu takutkan itu, terlambat.”
Aku pergi dengan luka yang begitu besar. Dia sudah terlalu banyak berubah. Aku hampir tidak mengenalinya lagi. Atau sebenarnya aku memang tidak pernah mengenalinya? Atau yang selama ini dia tunjukan hanya untuk memenuhi rasa penasarannya saja. Aku tersenyum pilu.
Hubungan kami selama ini romantis? Yang kami tunjukan di hadapan orang lain mungkin iya. Tapi jika dipikir lagi, kami memang terlalu banyak ributnya. Setiap hal kecil, selalu jadi pemantik. Kalau sudah begini, aku yang jadi bertanya-tanya kenapa dua tahun itu aku bertahan.
Jangan salah paham. Dia pria yang baik, setidaknya aku ingin berpegang teguh pada hal itu. Hanya saja setiap orang baik tentu punya sisi lain yang kadang berlainan dengan apa yang kita bisa maklum. Emosinya kadang belum bisa dikontrol. Meski begitu, ia sama sekali tidak pernah bersikap kasar kepadaku. Ia hanya akan berubah menjadi sangat dingin, tatapannya, juga tutur katanya. Dan sebenarnya itu menyakitkan.
Aku jatuh cinta karena dia orang pertama yang berada di sisiku di saat aku sedang jatuh-jatuhnya. Dia membuatku bergantung. Dia memberikan apa yang kupikir aku inginkan, yang tidak pernah aku dapatkan. Aku tidak pernah menerima bentuk cinta sebaik yang dia berikan sebelumnya hingga aku berpikir bentuk cinta yang dia berikan adalah ideal. Aku merasa cukup hanya dengan memilikinya.
Aku hanya punya sedikit teman. Bisa dibilang dia memang satu-satunya tempat yang bisa aku datangi. Aku merasa tidak punya tempat lain lagi dan aku merasa tidak perlu mencarinya. Dia tahu banyak hal tentangku, dia tempat aku menumpahkan banyak keluh. Dia selalu menggenggamku saat aku terlihat lelah, recharge katanya. Dia yang memelukku di saat setiap masalah bertubi menghantamku. Lelahkah ia dengan keluhku?
Aku menuruti semua hal yang ia katakan. Aku berusaha menyesuaikan diri, sebaik yang aku mampu untuk bisa tetap bersamanya. “Mau cari yang seperti apa lagi? Kamu tidak akan menemukan seseorang yang sempurna sesuai inginmu.” Pikirku dulu saat ingin menyerah.
Aku kira pertengkaran yang kali ini adalah pertengkaran seperti biasanya. Aku kira kami cuman dua orang yang sedang tersesat, aku kira kami hanya perlu saling menemukan lagi, sama seperti awal pertama dia menemukan aku. Tapi ternyata dia seyakin itu untuk pergi.
Aku tidak tahu kalau ternyata tahun-tahun yang aku pakai untuk menyesuaikan diri dan berkompromi dengan segala sikapnya adalah waktu yang dia pakai untuk meyakinkan dirinya agar menyerah padaku. Iya, mungkin dia tidak menemukan yang dia cari di diriku, mungkin aku tidak memberikan rasa tenang yang dia inginkan. Aku mengerti, sangat mengerti. Ujung dari pacaran ya kalau tidak menikah, maka sudah pasti berpisah.
Tapi kenapa harus selama itu dia sadar? Kenapa tidak di momen saat kami bertengkar hebat? Atau dia hanya merasa tidak enak saja? Takut bahwa aku akan merasa sendirian? Entahlah, tapi setelah kupikir, kami hanya seperti sedang saling memenjarakan saja. Memang perlu ada salah satu yang melepas jerujinya.
Ternyata benar apa yang temanku bilang sebesar apa pun usahaku, kalau bukan aku yang dia mau, aku bisa apa. Pernah ada dia dalam hidupku adalah salah satu hal yang aku syukuri, namun memulai hubungan dengannya adalah hal yang akan selalu aku sesali. Usaha mencintainya besar, melupakannya pun sama.
—
“Heh, lu lagi nikmatin karya apa bengong sih? Ngeliatinnya lama banget. Kesambet baru tau rasa!” Tanganku tiba-tiba dicolek oleh seorang teman.
Bukan, bukan lukisannya. Batinku.
Hanya saja tempat ini membuatku terkenang. Tempat dimana pertama kalinya aku menunjukan sisi yang paling aku sukai, juga tempat dimana dia pertama kali mengenalkannya pada orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGKAH KAKI #2
RomanceUsia dewasa itu memang jauh lebih menakutkan, namun bukan berarti kita tidak bisa menghadapinya. Kita pernah muda, tapi belum tentu akan melampaui masa tua. Jadi marilah hidup menjadi sebaik-baik manusia.