Bagaimana rasanya kini ruang yang tanpa aku? Semoga rasanya bisa jauh lebih lega hingga membuatmu lebih lapang. Aku dengar bahkan sampai saat ini aku masih menjadi topik pembicaraan ya? Semoga mereka tak lagi mengaitkannya denganmu. Meski mengecewakan tapi aku anggap mereka hanya tidak punya tema lain saja.
Sedih rasanya karena ternyata ada banyak topeng di belakangku yang bahkan tidak bisa lagi ku nilai rasa tulusnya. Padahal aku masih berada di fase merindukan momen bertumbuhku di sana, sesekali.
Saat itu, terlalu banyak asumsi yang berkembang. Salahku mungkin yang memang tidak berusaha memberikan penjelasan, tapi bukankah mereka hanya ingin mendengar apa yang ingin mereka dengar? Haruskah kujelaskan satu per satu masalahku pada satu per satu orang? Rasanya hanya membuang energi.
Bagiku saat itu hanya sebuah waktu yang tepat, itu saja. Ada banyak rasa lelah yang isinya bukan melulu soal kita sebenarnya. Kamu sendiri tahu aku selalu mengerjakan banyak hal sepenuh hati, dan saat itu rasanya separuh hati pun sudah tidak ada dalam setiap upayaku. Kenapa ya orang lain susah sekali untuk paham?
Iya, aku akui kamu berubah. Perubahan yang tidak bisa aku terima. Kamu terlalu banyak berubah sampai aku hampir lupa bahwa kita pernah punya satu rasa yang sama. Katamu, jika aku sakit aku masih bisa bilang. Jika aku terluka, aku masih bisa berlari ke arahmu. Jika ada banyak yang mengganggu pikiranku, kamu bersedia mendengar keluhku.
Rupanya ucapan itu hanya untuk membesarkan hatiku saja ya? Mungkin pikirmu dengan berkata seperti itu lukanya akan sedikit berkurang. Tapi asal kamu tahu lukanya sama sekali tidak mereda.
Kamu menjauh. Akui saja dan jangan menyangkal. Suaramu terdengar dingin. Pesanmu terlalu singkat, seolah ingin mengakhiri semuanya dengan cepat. Bahkan jika bisa, kamu akan memilih untuk tidak membalas pesanku bukan? Kamu ya, pembohong terbaik. Harusnya jika memang berniat seperti itu, katakan saja kamu ingin pergi, ingin meninggalkan aku sendiri tanpa aku ganggu lagi.
“Kita harus bisa saling lepas.” Itu kalimat terakhirmu. Kalimat yang cukup untuk membuatku sadar bahwa kamu telah hilang seutuhnya. Kehilangan seseorang yang sebenarnya tidak benar-benar hilang, karena kamu ada, fisikmu selalu ada di depan mataku. Kita hebat sekali ya, bisa sama-sama saling biasa saja seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Perubahanmu yang terlalu besar, sayangnya membuat banyak hal menjadi begitu kentara. Kita yang bisa saling biasa saja lama-lama juga jengah dengan sekitar yang terlalu riuh. Mungkin kamu bisa jadi makhluk paling apatis, tapi aku tidak.
Aku lelah dan muak pada suara-suara bising di sekitar kita. Mengusikmu, pun mengusikku. Demi Tuhan, segala bentuk kabar bahagia tentangmu, selalu membuatku turut senang. Tapi manusia-manusia di sekitar kita membuatku tidak tenang.
Ini bukan tentangmu, ini tentang aku. Tentang aku yang mulai kehilangan rasa yakin akan diriku sendiri. Aku tahu pada akhirnya aku hanya butuh ruang untuk mencari diriku yang hilang, pun aku harus memberi ruang untukmu, ruang yang tanpa aku lagi di dalamnya.
Aku ingin sesekali datang, menyapa dan memberi salam. Karena naifku, kupikir mereka merindukanku. Tapi urung kulakukan, lain kali saja. Lain kali kalau aku sudah selesai dengan urusanku satu per satu. Lain kali kalau aku sudah bisa bilang aku sudah menemukan diriku yang hilang. Lain kali kalau ada yang sudah bisa aku banggakan, karena aku tahu yang mereka lihat hanya sebuah pencapaian.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGKAH KAKI #2
RomansaUsia dewasa itu memang jauh lebih menakutkan, namun bukan berarti kita tidak bisa menghadapinya. Kita pernah muda, tapi belum tentu akan melampaui masa tua. Jadi marilah hidup menjadi sebaik-baik manusia.