Bab 1 - Kelulusan

1.6K 28 7
                                    


Hari dimana seharusnya Jalu Suandakni bangga sudah menjadi lulusan terbaik di kampusnya dengan IPK 4.00 dan memberikan pidato di hari wisudanya ternyata tidak membuatnya cukup bahagia sedikitpun. Jalu ingat jelas semalam papanya baru saja memberikan sebuah toko kue kesukaan mamanya yang sudah lama ia incar. Papanya dengan mudah memberikan toko kue itu sebagai hadiah aniversary pernikahannya, sementara ia sudah hampir tiga bulan bernegosiasi dan tidak dapat kesepakatan apapun juga. Sialnya lagi papanya membeli seluruh outlet dan saham toko itu hampir 89%.

Jalu ingat dengan jelas betapa bahagianya mamanya waktu itu. Ia menangis haru lalu memeluk erat papanya. Terlihat jelas wajah bangga Robi yang tak dapat di sembunyikan ketika bisa menyenangkan hati istrinya. Tak cukup sampai di situ, Robi juga berlutut untuk memberikan cincin seolah sedang melamarnya kembali. Suasana romantis dan penuh cinta yang selalu Robi tunjukkan pada Naila. Bahkan saat wisudanya Jalu tak cukup memukau orang tuanya khususunya mamanya.

Mamanya tetap menangis haru dan mengapresiasi Jalu seperti biasa dan hal itu yang membuatnya kesal bukan main. Ia ingin lebih dari sekedar sanjungan dan pujian atau karangan bunga. Jalu ingin mamanya hanya fokus padanya dan mengabaikan papanya. Tapi rasanya mendapatkan itu semua begitu mustahil. Sudah sejak SD ia mencoba dan rasanya pemenang di hati Naila tetap Robi seorang.

"Nanti kita makan malam sama rektor kampusmu, papa denger kamu dapat tawaran ngajar," ucap Robi sambil menoleh pada Jalu sejenak.

Jalu menghela nafasnya sambil mengangguk. Ia jengah sekali ketika mendengar ia mendapat tawaran mengajar di kampusnya. Sungguh bukan itu yang ia inginkan saat ini, terlebih kedua adiknya juga tak hadir di wisudanya kali ini.

"Mama bangga banget sama kakak, kakak keren," puji Naila sambil memandang putranya. "Nanti kita makan malamnya bareng keluarganya tante Suzan itu loh, temennya mama kalo senam."

"Oh ya? Wah bisa nih sekalian ajak kerja sama, punya tambang batu bara kayaknya keren juga buat nambah uang jajan," saut Robi yang jadi semangat.

"Aih, uang jajan. Itu ma udah cukup buat bayar utang negara," komentar Naila sambil menepuk paha suaminya.

Seketika Jalu teringat betapa sulitnya papanya untuk bekerja sama dengan pemilik tambang batu bara terbesar yang menyaingi BUMN itu. Keluarga Waloh satu-satunya perusahaan yang tak bekerjasama dengan FS Group. Mungkin ini cara Jalu untuk membuktikan kalau ia lebih baik dari papanya. Ini momen yang tepat.

●●●

Tak ada senyuman sedikitpun di wajah Surya Waloh ketika melihat Alma tak bisa naik ke podium lagi untuk menyampaikan pidato kelulusannya karena kalah 0,2 oleh Jalu yang bisa dapat angka sempurna. Kuliah di jurusan yang sama, hanya beda kelas itupun Jalu ada satu kelas di bawah Alma. Tapi Alma tak bisa mengalahkannya sedikitpun. Tak ada kata selamat atau pelukan hangat. Surya benar-benar malu di buatnya. Sudah perusahaan kalah besar dengan FS Group, anak satu-satunya yang ia punya juga tak dapat membuatnya bangga.

"Paling enggak Alma gak kayak Dahlia kan Pa, udah dong ga usah marah-marah gitu," ucap Suzan berusaha mencairkan suasana dalam mobil.

"Kamu liat gak tadi? Liat gak?!" bentak Surya penuh emosi. "Anaknya Robi bisa ke panggung buat pidato, liat gak?! Liat gak betapa sombongnya Robi sama istrinya waktu berdiri memamerkan keberhasilannya?!" Surya makin emosi.

Alma tertunduk merasa penuh sesal. Terlebih ketika mamanya menyebut kakaknya yang sudah meninggalkan rumah demi mengejar pria idamannya itu sebagai pembanding. Alma tak bermaksud untuk menyaingi Dahlia atau membuat dirinya menjadi lebih unggul. Ia hanya ingin mengobati kesedihan dan kekecewaan orang tuanya saja karena kakaknya yang begitu mengejar kebebasannya. Alma hanya berusaha menjadi anak berbakti yang memenuhi ekspektasi orang tuanya. Tidak lebih.

"Nanti ada undangan makan malam bareng rektor, cuma ada tiga keluarga doang yang di undang. Ada keluarganya Jalu juga, apa kita perlu dateng?" tanya Suzan pada suaminya sambil menyerahkan kartu undangan makan malam khusus bersama rektor yang di tujukan pada tiga mahasiswa terbaiknya.

Surya membaca undangannya sejenak, lalu mengangguk. "Ya, kita datang. Kita perlu tau apa langkah selanjutnya yang di ambil Robi buat anaknya itu," ucap Surya.

"Kayaknya yang ngambil langkah selanjutnya bukan Robi lagi, istrinya, temanku kalo senam. Dia bilang semua pendidikan sampai kegiatan yang di kerjakan anaknya bukan campur tangan suaminya. Mereka cuma mendukung dan memfasilitasi saja," ucap Suzan yang diam-diam memata-matai Naila.

"Halah, itu kan yang mereka bilang di depanmu. Kita kan ga tau gimana yang sebenarnya," Surnya tak mau percaya begitu saja dengan infoemasi yang di berikan istrinya.

Alma menghela nafas. Alma pernah sekali melihat Jalu bersama mamanya yang cantik dan awet muda itu berpapasan dengannya saat menghabiskan waktu bersama di mall. Alma ingat betul di hari sebelumnya Jalu di omeli habis-habisan oleh profesor yang akan mengadakan kuis di hari itu. Jalu sedikit panik dan stress, tapi melihat kebersamaannya bersama mamanya tampak begitu berbeda. Mamanya memiliki aura positif dan penuh kasih sayang yang begitu banyak.

Alma ingat betul saat mendengar orang tua Jalu mengatakan untuk tenang dan terus menyemangatinya. "Mama gak minta kakak jadi nomor satu di kampus, Mama minta kakak bahagia waktu belajar di kampus. Bagi mama kakak tetap jadi juara apapun hasilnya," ucapan orang tua Jalu yang begitu sejuk dan menenangkan bahkan bagi Alma yang saat itu hanya mengupingpun ikut tenang.

Alma iri dengan kehidupan Jalu yang begitu menyenangkan. Orang tuanya tidak banyak menuntut, orang tuanya begitu paham cara memperlakukan anaknya dengan baik. Meskipun pernah juga Alma mendengar kabar kalau Jalu pernah berpacaran dan bolos sekolah sehari sebelum sidang tesisnya karena kesal dengan papanya. Rasanya itu juga hanya terdengar seperti gosip semata.

Alma melihat ponsel mamanya yang bergetar dan langsung buru-buru di sembunyikan, tak lama papanya juga melakukan hal yang sama saat ada video call yang masuk. Keduanya masih berseteru dengan opini masing-masing tentang keharmonisan keluarga Suandakni. Sementara keduanya sendiri sedang menyembunyikan selingkuhannya masing-masing.

"Setelah pertemuan ini nanti baru kita bisa tentukan apa yang selanjutnya kita lakukan," ucap Surya.

Alma mengangguk patuh. Hanya itu yang ia bisa lakukan.

***

Bersambung...

Bad Brother ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang