Part 3 - Suara dari Pulau

7 1 0
                                    

Rika membuka lemari pakaiannya sembari berjongkok untuk mencari outfit apa yang akan ia kenakan hari ini. "Hm.. cuacanya agak panas, ya." Pandangannya tertuju pada salah satu bra miliknya. Berwarna putih berpadu dengan garis-garis berwarna pink, serta pita hitam di samping kanannya. Tak lupa ia memakai hotpant berwarna hitam sebagai bawahan. Pakaian tersebut menambah kesan manis pada dirinya.

Rika keluar dari kamarnya kemudian berjalan menuju dapur. Ia membuat secangkir teh untuk dirinya sendiri. Disusul dengan Edward yang masuk dengan membawa sekotak besar bahan makanan.

"Oh, hai Rika! Bajumu cantik sekali hari ini," katanya sambil menurunkan barang-barang.

"Ya? Hai! Terimakasih, hari ini cuacanya agak panas jadi aku mengenakannya."

Edward melempar senyum pada Rika sebelum akhirnya senyumnya berbalas.

"Kau ingin minum sesuatu?" tanya Rika berbasa-basi disambut raut wajah terkejut dari Edward. Sangat jarang Rika bisa berlaku manis seperti ini. Ah, mungkin Rika biasanya terlalu tegas dan sensitif.

"Kau akan membuatkannya? Baiklah, aku tidak akan menolak."

Rika berbalik arah menuju pantry untuk mengisi ulang teko teh yang telah ia gunakan tadi. Setelah menyajikannya, ia dan Edward duduk saling berhadapan kemudian bersulang.

"Sementara yang lain turun ke pulau, lebih baik kita habiskan waktu di sini."

.
.
"Sip! Bagaimana kalau seperti ini?" Airin merapikan bagian belakang tas Sento setelah memasukkan kotak bekal ke dalamnya.

"Sudah cukup, terima kasih, Airin!" balasnya kegirangan.

"Baiklah, bekal untuk tiga orang telah siap. Kita turun sekarang,"

"Apa yang akan kau lakukan di sana, Kaizo?" tanya Airin.

Kaizo menjawab sambil menghela napas, "Yah, apa lagi yang bisa ku lakukan? Aku hanya akan mencari informasi tentang pulau ini. Jujur saja, perpustakaan di kapal kita masih terbelakang untuk masalah geografi. Kita sangat kekurangan buku,"

"Itu juga karena Sento sih," sambungnya.

Airin mengangguk. Hal itu benar, meskipun kapal ini mempunyai ruang baca cukup besar, namun untuk koleksi bukunya sangat minim. Bagi arkeolog seperti Kaizo, itu cukup menyulitkan.

Kaizo dengan cekatan melompat dari kapal lalu memijakkan kakinya di tanah. "Aku duluan," katanya.

"Hei! Beraninya kau!" seru Sento seraya melompat menututi Kaizo. Airin menyusul kemudian.

Mereka berjalan lebih jauh ke dalam pulau, menyusuri hutan-hutan sambil melihat sekitar. Pulau tersebut terlihat sudah lama ditinggalkan. Banyak tumbuhan liar yang tumbuh sangat tinggi, serta puing-puing bangunan yang berserakan.

"Hm? Pulau ini kosong?" Sento menggumam.

"Ya, sepertinya begitu. Pulau ini juga bukan pulau besar, jadi kita dapat mengelilinginya dalam waktu sekejap. Sudah hampir setengah bagian pulau kita jelajahi, namun tak terlihat siapapun ada di sini." Kaizo menjawab berdasarkan identifikasinya terhadap sekitar.

Tak berselang lama, setelah mereka melanjutkan perjalanan, terdengar suara riuh pukulan kedua kayu yang diadukan. Suara tersebut berasal dari sebuah pondok yang tertutup banyak pohon bambu yang rimbun.

Kaizo mengajak kedua rekannya untuk berjalan dibelakangnya. Khawatir sesuatu akan terjadi, Kaizo bersiap meletakkan tangannya di gagang pedang yang ia bawa.

Setelah berjalan sedikit lebih jauh ke dalam hutan bambu tersebut, mereka mendapati suatu bangunan yang tampak tidak asing. Rupanya suara tersebut berasal dari dojo, atau pondok berlatih katana (pedang) yang berdiri di sana. Banyak anak-anak yang sedang belajar teknik pukulan pedang menggunakan dua bilah bambu yang diadukan.

"Eh, ada tempat seperti ini di dalam hutan?" tanya Airin.

"Sepertinya begitu," Kaizo menanggapi.

"Jadi teringat masa lalu, ya, Kaizo?" tutur Sento sambil menengadahkan wajahnya ke langit.

Anak-anak yang mulanya riuh berlatih, akhirnya menyadari keberadaan para bajak laut tersebut. Dengan wajah ketakutannya, mereka perlahan-lahan mundur menjauh. Airin memandang heran, apa karena pakaian khas bajak laut yang hari ini mereka kenakan, ya?

"P-Pak Tua! Tolong kami!" seru salah seorang anak.

Seorang pria tua yang diyakini adalah pemilik pondok tersebut keluar dari dalam pondok. Pria berusia sekitar 60 tahunan tersebut berjalan menggunakan tongkat dan sandal kayunya, berjalan ke arah anak-anak. "Ada apa ini?"

Seorang anak berseru kembali. "Ada orang asing!" Pak tua itu langsung menoleh ke arah dimana ketiga bajak laut itu berdiri. Mereka saling melempar pandang dalam diam, sebelum akhirnya Kaizo menyadari sesuatu. "Dia itu.."

"Sensei!" seru Kaizo. (=guru; orang yang dihormati, dalam bahasa Jepang)

" Pak tua-sensei!" serunya sekali lagi.

"Siapa, ya?" tanya Pak Tua tersebut. Ia merasa belum pernah bertemu dengan Kaizo sebelumnya.

Kaizo berjalan ke arah Pak Tua itu. Sekumpulan anak-anak yang berada dibelakang Pak Tua berlarian karena takut. Tiba mereka berdua berhadapan dengan jarak kurang dari 5 meter. Kaizo menarik salah satu pedang yang tergantung di pinggangnya. Ia mengayunkan pedang itu kedepan wajah Pak Tua. "Lama tak jumpa, ya?" ujarnya.

"Oi Kaizo! Jangan kau membunuh orang yang baru pertama kita lihat!" sergah Sento memperingati. Ia hendak berlari menututi Kaizo, sebelum tindakannya dicegah oleh Airin.

"Biarkan saja, mungkin mereka pernah bertemu sebelumnya."

Airin terus mengamati gerak-gerik Kaizo supaya ia tidak melakukan sesuatu sembarangan. Tapi tidak lucu juga bila Kaizo tiba-tiba membunuh seseorang tanpa alasan, apalagi seorang kakek tua.

Pak Tua itu masih terdiam ditempatnya. Sambil terus menjelajahi setiap detail wajah Kaizo. Ia berusaha mengingat-ingat siapa seseorang yang sekarang berada dihadapannya.

Pak Tua itu memiringkan kepalanya. "Siapa kau ini?" tanyanya sekali lagi.

Kaizo tertunduk murung. "Ternyata kau benar-benar tidak mengingatku ya, Pak Tua sialan?"

Kaizo lalu mundur beberapa langkah. Kemudian ia mengayunkan kedua pedangnya secara bersilangan berulang kali sembari mengangkat sebilah bambu panjang ke udara menggunakan kakinya. Tanpa menghentikan ayunannya, ia melambungkan bambu tersebut hingga mengenai kedua bagian tajam pedangnya sehingga bambu tersebut dapat terpotong rapi menjadi bagian-bagian kecil.

Ia melanjutkan aksinya dengan melempar kedua pedang tersebut ke udara. Keduanya berputar-putar di atas tanah sebelum akhirnya terjatuh menancap ke salah bagian bambu yang telah terpotong tadi. Kedua pedang itu tertancap sempurna di potongan bambu yang ukurannya tak lebih dari 5 inchi.

"Keren," gumam Sento dan Airin secara bersamaan.

Kaizo mengambil kembali kedua pedangnya. Ia berjalan kembali ke hadapan Pak Tua tadi sambil berkata pelan. "Bagaimana, Pak Tua? Hanya aku loh, yang bisa melakukan itu,"

.

.

894 kata

terimakasih sudah membaca cerita yang ditulis secara tidak niat ini. ku harap kalian menyukainya

instagram author @nunundoang

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 19, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MARINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang