Wonwoo bertanya-tanya apa yang membuatnya begitu terbuka terhadap Mingyu hanya dalam waktu sehari setelah pertemuan terakhir mereka. Apakah sekadar sebagai balas budi, hatinya yang merasa tiba-tiba merasa iba atau ada hal lain dari kehadiran Mingyu yang diam-diam diharapkannya.
Dan kini keduanya berhenti di depan apartemen, basah kuyup serta kedinginan.
"Ayo lebih baik kita cepat masuk." Wonwoo memimpin di depan sementara Mingyu mengikutinya di belakang. Lobby apartemen kosong sebagaimana mestinya. Sudah tentu orang-orang itu lebih memilih berada di kamar yang hangat. Cepat-cepat mereka berjalan ke lift yang langsung terbuka menuju kamar Wonwoo.
Air menetes mulai dari rambut hingga pakaian mereka. Jika Mingyu berada di sana berarti ia harus meminjamkan pakaiannya kepada pria itu. Lalu dapat Wonwoo rasakan debaran jantungnya yang perlahan-lahan berdetak cepat, seumur hidupnya belum pernah satupun seseorang menginjakkan kaki di kamarnya bahkan Hansol sekalipun. Membawa orang yang baru dikenalinya masuk seharusnya membuat ia lebih waspada namun Wonwoo tidak merasa terancam. Debaran itu berkebalikan dari sebuah ketakutan, sebuah perasaan asing yang sudah lama ia lupakan.
Keheningan terpecahkan dengan pertanyaan dari Mingyu. "Apa yang membuatmu mengizinkanku di sini? Kemarin kau sempat bimbang akan mengajakku masuk atau tidak."
Wonwoo menyimpulkan antara Mingyu adalah orang yang peka atau gelagatnya yang memang mudah ditebak. "Aku—"Ucapannya terpotong begitu pintu lift terbuka. "Lebih baik kita mengeringkan tubuh dahulu." Wonwoo kembali berjalan di depan. Empat pintu terlewati sampai ia berhenti di pintu besi berwarna suram.
"Ini tempatmu?" Mingyu bertanya.
"Yah... Memang tidak besar tapi di dalam sama hangatnya dengan kamar-kamar yang lain." Sekiranya menurutnya begitu. Wonwoo memutar kunci, mempersilahkan Mingyu memasuki ruangan terdahulu. Kondisi kamarnya gelap sebagaimana ia tinggalkan tadi. Satu-satunya cahaya berasal dari cahaya lampu jalan yang bersinar di luar.
Wonwoo menghidupkan lampu, maka jelaslah ruangan itu. Ruangan tamu yang tidak terlalu besar. Terdapat sofa reot yang bersandar di tembok, di depannya di atas sebuah lemari yang sama reotnya (namun terlihat kokoh) terdapat televisi berlayar kecil yang Wonwoo dapatkan dari gaji pertamanya sebagai penulis novel.
Dengan gugup Wonwoo melirik ke arah Mingyu. Ia tidak pernah membawa siapapun masuk ke ranah pribadinya. Wonwoo takut Mingyu kecewa dengan kondisi kamarnya.
Namun toh mereka sudah basah dan tidak mungkin Wonwoo menyuruh Mingyu pergi. Dan di dalam hati kecilnya ia menginginkan Mingyu di sisinya. Wonwoo melirik Mingyu yang tengah berdiri di atas keset tengah menyibakkan rambut basahnya.
"Mingyu, lebih baik kau membersihkan diri agar tidak sakit. Kamar mandi ada di kamar." Wonwoo berjalan di depan sementara Mingyu mengikuti. Dapat ia rasakan dadanya berdebar begitu mereka memasuki kamar. Di depan pintu Mingyu terdiam tertegun memandang kamarnya, pasti pria itu berpikiran betapa suram kamarnya itu. Belum sempat Wonwoo menjelaskan, Mingyu berbicara. "Kamarmu keren sekali."
Dapat Wonwoo rasakan pipinya memanas, ia yakin sekali warnanya pasti berubah kemerahan. Sementara ia sibuk mencari handuk dan baju ganti yang pas, Mingyu sibuk menjelajahi kamarnya terutama poster-poster yang tergantung di setiap bagian dinding.
"Kau suka sekali dengan sastrawan ya? Biasanya orang-orang sepantaran denganmu memajang wanita-wanita seksi di dindingnya— tapi kau benar berbeda," suaranya menunjukkan kekaguman. "Dia Fyodor Dostoyevsky, kan?" Mingyu menunjuk seorang laki-laki dengan janggut lebat yang tengah merenung. Wonwoo hanya mengangguk sebagai balasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOTHER • Meanie (On Going)
FanfictionWonwoo seorang pengkhayal tingkat akut dapat melihat sesuatu yang tak dapat dilihat orang lain. Ia merasa ramai di dalam kesendirian, dari keramaian itulah ia bertemu dengan pria aneh yang selalu mengikutinya.