Bab 1

916 136 9
                                    

"Lana kamu beneran nggak ambil teknik sipil UI? Terus kamu jadi kuliahnya di mana?" tanya Kalandara sambil menatap teman sekelasnya dengan tatapan sedih.

Enam tahun bersama, membuat Kalandra merasa ketergantungan pada Kelana. Kemanapun ia pergi, gadis itu harus menemani langkahnya. Nggak ada Kelana, dunianya akan terasa hampa.

Kelana memilih diam, ia nggak mungkin menjelaskan kalau ia akan kuliah sambil nyantri di Sukabumi. Sengaja Kelana tidak kuliah di tempat impiannya, karena pasti Kalandra akan mengikutinya. Ia merasa jengah berdekatan dengan Kalandra. Kalau kata teh Kiki, nggak baik anak perempuan temannya cowok, selainan berlainan jenis, dalam agama juga dilarang, karena bukan mahrom.

"Lana, kok, diam?" Kalandra gemas melihat Kelana yang membungkam mulutnya.

Kelana hanya memutar bola mata malas, tapi tidak mengeluarkan suara.

"Kamu nggak suka ya, kuliah bareng aku?" Mata sipit Kalandra semakin menyipit, ada bias kesedihan di sinar matanya.

Kelana ingin saja mengusir Kalandra, cowok yang biasanya rese itu, makin hari--makin mengganggunya. Kata cewek-cewek teman sekelasnya, Kelana itu beruntung, karena kemana-mana dikintilin Kalandra, meskipun sikapnya nyebelin, tapi kalau diperhatikan lebih detail, Kalandra itu ganteng. Cowok perbaduan Chinese dan Sunda itu cukup menarik, jika saja lebih cool sedikit.

"Aku mau masuk pesantren, sekalian kuliah juga," jawab Kelana datar.

"Tetapi kenapa tiba-tiba kamu berubah pikiran, impian kamu kan bukan di sana."

"Aku mau memperbanyak bekal menuju akhirat, jadi aku mau banyak belajar agamaku lebih mendalam."

"Ini pasti karena pengaruh kakak sepupu kamu itu, kamu juga jadi menjaga jarak dari aku sekarang."

Omongan Kalandra ada benarnya juga. Semenjak Teh Kiki, kakak sepupunya itu pulang kuliah, banyak hal yang di share pada Kelana, dan Kelana suka dengan perubahan Teh Kiki yang terlihat agamis, smart dan anggun. Teh Kiki juga memberi banyak nasehat pada Kelana, jangan terlalu dekat dengan Kalandra, kalau sudah timbul virus-virus cinta bisa berbahaya, karena selain dosa, keyakinan pun akan jadi taruhannya.

Kelana mulai jengah dengan keberadaan Kalandra didekatnya.  Bagaimana dia bisa leluasa bergerak, kalau kemana-mana selalu ada Kalandra. Bahkan sepulang sekolah pun, cowok itu selalu mampir ke rumahnya.

Jika punya ilmu menghilang, ingin saja Kelana menghilang, agar keberadaannya tidak terdeteksi Kalandra. Jangan sampai saat kuliah barengan lagi, kuliah di kampus yang sama.

"Emangnya kalau aku nggak kuliah di sana, kenapa sih? Kamu juga masih bisa berteman dengan yang lain. Kita ini sudah dewasa Landra, masa depan kamu ditentukan oleh pilihan kamu sendiri, bukan karena mengikuti aku."

"Aku nggak mau aja kebersamaan kita yang sudah terjalin lama, pupus begitu saja. Lagian aku sudah merasa nyaman didekat kamu. Kalau kita kuliah bareng, setidaknya ada banyak hal yang bisa kita lakuin dalam merintis masa depan."

Nyaman di mananya, Kelana setiap bertemu Kalandra bawaannya darah tinggi.

"Maaf, untuk kuliah mungkin aku nggak bisa bareng kamu lagi Landra, aku sudah memutuskan untuk kuliah sambil mesantren, dan jurusan kuliah yang aku ambil pun, jurusan agama."

Wajah Kalandra terlihat layu. Nggak terbayangkan jika hari-harinya sepi tanpa Kelana. Kali ini, ia nggak mungkin bisa mengikuti jejak Kelana, keyakinannya dengan Kelana berbeda.

Lain lagi dengan Kelana, menurutnya lama-lama bareng Kalandra bikin ia sakit hati. Ia sering banget jadi bahan bulian dari mulut-mulut toxic teman-temannya. Seperti ucapan seperti ini :

"Heran ya, si Landra, kok mau-maunya ngintilin cewek burik dan item kayak si Lana. Tinggi sih iya, tapi kayak tiang listrik dan datarnya kayak papan penggilesan, di mana-mana rata."

"Dari sudut manapun masih bagusan kamu lah, Mel, tetapi kamu udah dandan habis-habisan pun, si Kalandra malah nempelnya sama si Lana. Nempel kayak perangko, pake pelet apa sih, si Lana."

"Mereka kalau jalan bareng mirip babu dan majikan."

Celaan dari teman-teman Kelana bermulut toxic masih membekas dipikirannya, dan bikin sakit hati. Bagaimana nanti kalau memasuki dunia kampus, terus Kalandra masih mengintilinya, maka rasa sakitnya akan bertambah. Padahal siapa juga yang mau barengan sama cowok itu, dia saja yang kurang kerjaan mengikuti Kelana.

"Lana, nanti kalau kamu udah ke luar dari sini, jangan pernah lupain kita, ya. Sekali-kali kita renunian di pesantren," suara  Anisa membuyarkan lamunan Kelana.

Hari ini, adalah hari terakhir Kelana nyantri di pesantrennya, mama Kelana terus meneror putrinya untuk pulang berhubung kuliahnya sudah selesai.

Anisa adalah sahabat Kelana saat berada di pesantren, mereka kuliah di beda kampus, tapi karena bermukim di pesantren yang sama, maka Anisa dan Kelana bersahabat.

Kelana menghentikan kegiatan memasuk-masukan bajunya ke dalam koper. Kuliahnya sudah selesai dari empat bulan yang lalu, tapi Kelana tidak langsung pulang karena masih ada beberapa kitab di pesantren yang harus ia tuntaskan untuk dikaji.

Selulus SMU, Kelana mengambil kuliah di Sukabumi, dia kuliah di salah satu sekolah tinggi Islam yang pendirinya merupakan salah seorang pejuang kemerdekaan. Kota berhawa sejuk yang memiliki banyak pesantren ini membuat Kelana merasa enggan untuk pulang.

Pesantren dan dunia perkuliahan, mengajarkan Kelana banyak hal. Ia pun semakin cinta pada agamanya. Kelana tidak pernah menyesal karena tidak kuliah di kampus elit pilihan papa yang ada di Jakarta, karena di manapun menuntut itu, jika tujuannya untuk meraih ridha Allah swt. maka Allah akan memudahkan jalannya menuju surga.

Yang bikin Kelana malas pulang, ia tidak mau bertemu dengan Kalandra, kata mama dia sudah pulang dari California satu bulan yang lalu. Kata mama juga, Kalandra sering menanyakan keberadaannya. Selulus SMU, Kalandra tidak jadi mengambil kuliah di UI, tapi dia mengambil kuliah ekonomi di Stanford karena dipaksa papanya harus kuliah di sana. Sebagai anak yang lahir dari keluarga the have, mau dimanapun dia kuliah sangat bisa. Sebagi anak sulung dari dua bersaudara, Kalandra harus jadi penerus bisnis keluarganya.

"Aku nanti akan sering ke Sukabumi," janji Kelana pada Anisa.

"Benar, ya?"

"Doakan saja aku punya banyak uang dan punya waktu luang."

"Kalau soal uang, keluargamu sangat berkecukupan, nggak mungkin lah kamu nggak punya uang. Nah, yang susah itu membagi waktunya, apalagi kalau kamu sudah sibuk."

"Akan aku usahakan jika punya waktu luang. Orang-orang di pesantren ini, sudah aku anggap seperti keluargaku sendiri. Umi dan abah, sudah aku anggap sebagai orang tua yang pasti aku bakal kangen pada mereka," janji Kelana.

"Kalau nanti ketemu sama Landra, kamu jaga hati, ya. Lamaran Kang Faiq masih bisa kamu perimbangkan. Meskipun dia nggak seganteng Landra."

Kelana meringis, di antara ia dan Anisa memang tidak ada rahasia yang disembunyikan, begitupun dengan Anisa. Menyinggung soal Kang Faiq mendadak Kelana ingat lamaran dari laki-laki itu. Pemuda hitam manis, yang baru jadi dosen di kampus Kelana, dia pria lulusan Timur Tengah. Tetapi, saat itu Kelana masih ragu menerima lamarannya, karena ia masih ingin memiliki banyak pencapain yang ingin diraih sebelum menikah. []



Merajut CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang