Kantin tampak ramai ketika Aidan melangkah menuju meja Nigel. Dari jarak pandang yang cukup, ia bisa melihat laki-laki berkulit gelap itu berbincang riuh rendah dengan Sieera.
Satu hal yang membuat Aidan tidak mengerti, tatapan mata Nigel terasa begitu hampa—persis dengan tatapan James ketika ia ditemukan tak bernyawa.
“Hai, Atkinson!”
Aidan menjejalkan tubuh kurusnya di antara Sieera dan Nigel. Senyumnya mengembang sempurna meski setitik kesedihan masih tertinggal di sana.
“Oh, hai, Filbert! Aku turut berduka atas kematian saudara kembarmu,” lirih Nigel, bersimpati. “Kau tahu? Dia murid favorit semua professor kurasa dan sekarang aku yang harus menggantikan posisinya, mendapatkan perhatian lebih—”
Nigel tampak salah tingkah memandang alis Aidan yang berkerut, ia cepat-cepat mengganti kalimatnya, “well, maksudku, itu cukup mengganggu, bukan? Kau tidak bisa melakukan sesuatu dengan bebas karena semua professor selalu mengawasimu.”
Kesunyian melanda sesaat setelah Nigel memutuskan untuk memasukkan potongan daging ke mulutnya. Sedangkan, Aidan terus mengawasi tanpa niat untuk berpaling.
“Aidan, minuman apa itu? Apakah kau membawanya untuk kami?” ujar Sieera yang berusaha mengingatkan Aidan tujuan dirinya ada di sana.
Dengan keengganan yang tergambar jelas, Aidan memusatkan atensinya pada tiga gelas minuman permen karet di bawah wajahnya.
Jika bukan Aidan sendiri yang memasukkan ramuan itu ke dalam salah satu gelas, ia mungkin tidak akan mengenali minuman mana yang harus diberikan kepada Nigel. Ramuannya sama sekali tidak mengubah warna asli dari minuman itu.
“Ini untukmu, aku sengaja membelikannya untuk kita bertiga.” Aidan berusaha membuat raut wajahnya kembali normal sambil mendorong salah satu gelas ke arah Nigel, sedangkan Sieera tanpa sungkan menyambar satu gelas lainnya.
“Oh, terima kasih!”
Nigel sama sekali tidak menaruh curiga pada minuman itu. Ia menegaknya, cairan kebiruan itu membasahi kerongkongannya yang berminyak setelah menyantap menu daging asin.
Cukup tiga detik bagi Nigel untuk menyadari ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Ia tersedak, batuk luar biasa.
Pada saat yang bersamaan, dadanya berguncang naik turun, ia persis seperti orang yang kehabisan oksigen, menggapai-gapai udara, hendak mencari pertolongan yang terlambat didapatkannya.
Suara mencekik segera memenuhi kantin, memaksa mereka yang terdekat untuk menoleh. Sedangkan Aidan, ia bergeming gemetaran, wajahnya yang semula kemerahan mendadak pucat ketika melihat cairan berbusa keluar dari mulut Nigel.
“Hei, apa yang kau berikan kepadanya, Aidan?” seru Sieera yang memasang wajah panik serupa. Di tengah tatapan semua penghuni kantin, gadis itu berusaha—agar terlihat—menolong Nigel.
“Apa maksudmu?” Aidan meraung marah di balik ketakutannya yang tidak wajar. “Kau yang menyuruhku memasukkan cairan itu pada minuman Nigel!”
Namun, Sieera tidak ingin mengakui itu. Ia jelas mencemooh Aidan yang sedang berkelit dengan kemarahan dan rasa takut.
“Kau memasukkan sesuatu ke minuman Nigel, Aidan?”
Tidak ada waktu untuk menjawab pertanyaan itu saat suara langkah kaki tergesa-gesa memasuki kantin, menuju tempat yang dikerumuni oleh murid-murid.
Kepala Professor Halson yang pertama kali terlihat, disusul Professor Derena dan yang lainnya.
“Minggir!” titah Professor Halson sambil menyibak kerumunan. “Apa yang terjadi? Oh, Nigel!”
Tanpa banyak bicara lagi, Professor Halson segera memeriksa tubuh Nigel yang kaku. Tangannya bergerak mencari denyut nadi Nigel, memastikan bahwa muridnya itu masih memiliki kesadarannya.
Cairan berbusa memang tidak lagi keluar dari mulut Nigel, tetapi itu sama sekali tidak mengurangi ketegangan ketika mengetahui bahwa Nigel tak kunjung membuka matanya.
“Apa—apakah dia masih bernyawa, Professor Halson?” Sieera bertanya dengan hati-hati.
Tampaknya bukan kabar baik saat melihat Professor Halson menggeleng lemah sambil mengembuskan napas penuh penyesalan.
Tidak ada satu pun kalimat yang meluncur dari bibirnya, tetapi itu lebih dari cukup untuk membuat seisi kantin panik dan menjerit tertahan.
“Bawa dia ke rumah sakit, Professor Derena! Aku akan menghubungi orangtuanya.” Professor Halson melempar tatapannya ke arah Aidan yang masih bergeming di tempatnya dengan wajah pucat pasi. “Dan kau, Filbert, ikut aku ke kantorku!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Witchcraft in Death | END
Novela JuvenilMystery | Fantasy Kematian tidak pernah menjadi sesuatu yang begitu nyata bagi sekolah sihir terkemuka, Akademi Croward, sebelum James Filbert ditemukan tewas akibat sihir kegelapan Poorka. Berdua, Sieera Blyte sebagai kekasih James dan Aidan Filb...