Empat Puluh Empat

659 85 44
                                    

Jeongguk

Sekujur tubuh Jimin basah kuyup. Niat awalnya cuma sekadar mencuci motor yang baru saja datang setelah lama dipinjam oleh kawan kantornya, entah siapa namanya. Ia membeku di bawah sinar matahari sore seolah baru saja melihat setan berkeliaran di sekitar kos. Memandangi dirinya sendiri dan Jeongguk secara bergantian. Tidak melepas satu selang panjang yang mengucurkan air dari kran dekat taman belakang kos.

"Jeongguk!" pekiknya seolah pemuda yang punya nama ini ikut-ikutan bersalah. "Kok, aku jadi basah begini?" tanyanya pada siapa saja yang mendengar.

"Ya, ndak tahu." Jeongguk tidak terima disalahkan. "Selangnya dari tadi kamu yang bawa. Aku ndak ada pegang sama sekali."

Pemuda manis itu kembali menggulirkan pandangan. Masih mencoba memproses apa yang sebenarnya terjadi dan siapa yang bakal ia jadikan tersangka sekarang. Apakah Jeongguk, dirinya sendiri, atau bahkan motor di hadapannya yang sepertinya sudah tidak bergerak dari beberapa jam yang lalu. "Tidak adil, ah. Masa' aku sendiri yang basah?"

"Ini ada temannya." Telunjuk Jeongguk mengarah pada motor yang belum dibilas. Berbusa dan sudah dipastikan kalau basah. "Si Beat."

Setengah menggeram kesal, Jimin berjalan menjuh. Membawa sandal japitnya menepi supaya tidak membuatnya terpeleset. Siluet tubuhnya berhenti di depan kamar kos yang kosong. Duduk termangu sambil sesekali memeras ujung kaosnya yang seperti tidak tersentuh setrika. Habis dicuci langsung dipakai.

Tidak biasanya Jimin diam dan menerima saja kalau Jeongguk sudah bersikap jahil begini. Laki-laki itu sengaja menginjak selang yang panjang untuk beberapa detik supaya susah ditarik. Setelah berhasil, Jimin justru kepayahan dan menyebabkan pemuda itu tergelincir basah kuyup. "Ngudiang(kenapa), Jim?" Ia dekati pria manis yang sudah lama mengisi hati. Membuat hari-hari Jeongguk jadi berwarna lagi.

"Aku belum cerita sama kamu soal sesuatu."

"Banyak yang belum kamu ceritakan," jawab Jeongguk, "soal apa sekarang?"

Jimin terkekeh ringan. Jeongguk tahu betul kalau anak itu memang menyadari kelakuan nakalnya yang suka menyembunyikan masalah. Berpikir kalau Jeongguk mudah saja membaca semua kejadian yang pernah menimpanya. Sayangnya, Jeongguk memang bisa. "Aku tidak tahu darimana Eunwoo dapat nomorku tapi dia mengirim pesan whatsapp beberapa kali."

"Sudah berapa kali sekarang?"

"Kayaknya seminggu sekali sejak kejadian Puputan."

"Tanya apa dia awalnya?" Jemari Jeongguk meraba-raba saku celana pendek yang ia kenakan. Mencari benda kotak yang menyimpan beberapa batang cerutu. Ia tidak boleh meledakkan emosinya pada orang yang salah. Satu-satunya yang bisa mencegah kelakuan burunya sejauh ini cuma nikotin yang asalnya dari rokok. Masa bodo soal bligungnya yang setiap hari mengomel karena walaupun Jeongguk bisa hidup terlalu lama, ia tetap harus menjaga kesehatannya supaya tetap ada di kondisi prima. Ia jadi sedikit menyesal membawa kakak tertuanya itu bangun kembali. Mendengar Seokjin mengoceh di pagi hari setelah semalaman mengejar deadline rasanya masih sama. Pening dan membuatnya ingin cepat-cepat keluar rumah.

"Awalnya menanyakan kamu."

"Aku?" Setengah memekik tidak percaya Jeongguk bertanya. Setelah beberapa detik mencari, bertemulah ia dengan sang tambatan hati kedua, rokok Sampoerna Mild. Cukup meniupnya sekali dan cepat-cepat dihisap, sudah menyala. "Dia senior di kantorku. Ada di projek yang sama juga. Kenapa harus tanya kamu? Kenapa ndak langsung tanya aku saja? Setiap hari ketemu."

"Aku juga mikir begitu."

"Kamu balas apa?"

"Seadanya." Jimin mengedikkan bahu. "Ndak penting juga, lagipula."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 24, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dewananda [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang