Chapter 1

222 13 3
                                    

SELAMAT MEMBACA!

'Kendati ingin memiliki, haruslah pupus jikalau tuhan tak menghendaki'
.
.
.8_8.
.
.
Waktu. Waktu adalah hal yang paling cepat berlalu. Jika setiap detiknya merasa bahagia ataupun merasa semangat, pasti hari itu cepat berlalu. Seakan rotasi bumi begitu cepat berputar.

Merupakan penyesalan yang Sarada rasakan kala waktu teruslah berjalan tanpa sedikit pun hubungannya dengan Boruto-- pria sedari kecil ia sukai berubah.

Sarada selalu berpikir 'Ah, waktu masihlah sangat lama. tak perlu terburu-buru.' Terlalu meremehkan waktu merupakan kesalahan besar pada hidupnya. Walaupun hubungan mereka dekat, kendati tidak ada benang merah yang terhubung disana, percuma saja!

Terasa tak menyangka, bagaikan keluar dari pikiran. Satu minggu lagi akan dilaksanakan upacara sakral, pengikatan janji suci Boruto dan Sumire. Bagaikan tertusuk setumpuk kunai tak kasat mata, hati Sarada terkoyak-koyak. Bukan mengapa, hati yang selalu ia jaga selama bertahun-tahun tuk ditempatkan dihati Boruto,malah tersia-siakan.

Kadangkala Sarada merasa bahwa ia diibaratkan 'Habis manis, sepah dibuang.' Tempat yang dulunya Sarada singgahi saat suka duka melanda selalulah dengan pria secercah cahaya itu, tempatnya mendapatkan kasih serta perlindungan. Bahkan pria berisikan butiran batu zamrud itupun tak pernah meninggalkan setiap mimpi-mimpinya.

Disisi lain, bukanlah salah Boruto jika hatinya berlabuh dilautan hati orang lain. Cinta tak bisa dipaksakan! Begitulah faktanya. Seberapa seringnya bersama jikalau tidak ada perasaan spesial yang menimpa, sudah pasti tidak terjadi apa-apa. Sarada pun tak pernah terucap dari mulutnya jika gadis itu mencintai Boruto. Boruto merupakan pria kebanyakan, yang tak terlalu peka dengan keadaan. Apa lagi peka terhadap perasaan.

Sarada tau betul jika Boruto hanya menganggapnya sebatas sahabat, teman, serta patner. Hanya saja, dirinya berharap jikalau sebuah keajaiban muncul tuk menyatukan mereka melalui benang merah yang tersimpul mati. Nyatanya keajaiban itu tidak pernah muncul meskipun ia berdoa pada Dewa Yue Lao (Cinta) sekalipun.

Sepasang bingkai obsidian Sarada memandang penuh pada minuman beralkohol serta berbusa itu. Entahlah, semenjak mendapat kabar tersebut Sarada selalu saja menenggak bir. Seakan sudah menjadi candu baginya.

Apakah sarada mabuk? tentu saja! Bergelas gelas bir ia minum tak henti. Mata kelamnya pun sering berganti-ganti warna, kadang berwarna hitam dan kadang berwarna merah dengan berbagai corak yang menghiasi pupilnya.
Namun, ia tidak sendirian. Chocho Akimichi--- sahabatnya itu selalu menemaninya berada didalam bar kecil ini.

"Sarada berhentilah, kau sudah mabuk berat!" tegur Chocho.

"Aku masih kuat Chocho, aku tidak mabuk!" jawab Sarada disela-sela minumnya.

Manik senada kayumanis Chocho menatap iba pada sahabat satu-satunya itu. Ia tau jika Sarada sangat menyukai Boruto. Patah hati memang wajar, merelakan juga wajar. Tidak ada salahnya jikalau cinta tak berjodoh, mungkin saja Tuhan ingin kita menemukan pasangan yang lebih baik dari dirinya. Bahwasanya Tuhan telah menciptakan dunia yang luas, banyak laki-laki diluar sana membutuhkan cinta. Buat apa pilu toh jika Sarada mau Chocho bisa memperkenalkan beribu-ribu kenalan prianya untuk dijodohkan dengan Sarada. Terlebih lagi Sarada memiliki wajah nan elok rupawan, sungguh sangat mudah mencari ganti.

Chocho binggung sendiri, memang apa bagusnya Boruto? tampangnya seperti berandalan. Walaupun sebenarnya Boruto adalah pahlawan desa tetapi, memang semenarik itukah Boruto Dimata Sarada, sampai-sampai membuatnya menjadi seperti ini?

Mendengar Boruto yang akan menikah, membuat Sarada kian harinya makin berubah. Ia menjadi lebih pendiam tanpa kecuali saat ia mabuk. Saat ini pun gadis dengan surai bulu gagak itu hanya meracau-racau tak jelas.

"Sarada, tidak baik seorang hokage terus-terusan mabuk seperti ini!" tegur Chocho lagi seraya menyesap jus lemon miliknya.

"Tak apa Chocho, egh! Lagi pula aku belum resmi jadi hokage." Sahut Sarada disertai cegukan.

"hmm terserah kau sajalah." Chocho mendengus kasar sambil memijit-mijit pelipisnya lelah.

Setelah pernikahan Boruto dan Sumire maka sehari setelahnya diadakan upacara pengangkatan Sarada menjadi hokage. Impian Sarada yang ingin menjadi hokage, sebentar lagi akan terwujud. Namun, patah hati bukanlah keinginannya sama sekali. Mengapa takdirnya selalu menggabungkan duka disetiap sukanya, terlebih lagi jarak waktunya sangatlah dekat.

"AAAA BIR NYA ENAK!! BORUTO BODOH, SEMUANYA BODOH egh! HAHAHAH!" racau Sarada nyaring sambil berdiri dengan mengangkat gelas bir nya yang sisa setengah.

"Sarada jangan berteriak, kita ditempat umum!" Chocho berujar sembari mendudukkan Sarada kembali ke kursi.

"Dan aku pun bodoh!"lirih Sarada lemah. Gadis itu meneguk habis bir yang ada ditangannya lalu merebahkan kepalanya diantara lipatan tangannya.

" Ahh...seandainya ku tau akhirnya begini, seharusnya kusampaikan lebih dulu perasaanku padanya. Hah, aku ini memang payah." racau Sarada pelan namun masih dapat didengar.

"Sekarang tidak ada kesempatan lagi mengatakannya!" sambung Sarada. Kemudian pupil malam yang berpendar itupun perlahan menutup, bersiap menuju ilusi mimpi.

"Ah, dia tertidur lagi" Chocho menghela nafas kasar sambil tersenyum hambar. Gadis itu membenarkan tatanan rambut serta wajah Sarada yang berantakan. Ia juga mengelap kulit wajah bak porselen itu dengan tisu.

"Tenang saja Sarada, kau masih sempat untuk mengatakannya. Aku akan membantumu!" monolog Chocho serius. Kemudian dengan susah payah ia membopong tubuh Sarada keluar dari bar tersebut.

Bersambung...

Saigo No Hyōgen (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang