'Terjalin asmaraloka memang tidak semudah yang dibayangkan, layaklah bersiap-siap sekiranya tergusur. Biarpun lakuna menghampiri, tetaplah melanjutkan metanoia, karena hidup cuma sekali.'
.
.
.8_8.
.
.Plak...
"SARADA! Apa yang kau lakukan?" Seru Boruto kaget. Pasalnya gadis itu tiba-tiba saja menampar keras wajahnya sendiri sampai menghasilkan bunyi yang lumayan terdengar. Padahal sedari tadi Sarada hanya berdiam diri setelah ia menanyakan tentang pernikahan Boruto.
Dan kali ini, masih saja Sarada menampar-nampar pipi wajahnya. Tanpa pikir panjang, lekaslah Boruto menghampiri Sarada serta memegang
kedua belah tangannya. "Sudah-sudah, jangan menampar pipi mu lagi!"'Bodohnya aku, kenapa aku bisa membayangkan hal seperti itu? Itu tindakan yang egois. Aku tidak boleh melakukan hal seperti itu! Aku sudah dewasa, tidak ada lagi yang namanya egois! Lagipula jikalau aku mengatakannya pun tidak akan merubah Boruto menjadi milikku, malahan pasti Boruto dan Sumire akan membenciku. Sarada sadarlah!' Batin Sarada bermonolog.
"OI SARADA!"
"Hah! Bo-Boruto?" Tersentak akan lamunannya, Sarada dibuat binggung dengan tingkah Boruto yang tiba-tiba memegang kedua tangannya, ditambah posisi mereka sekarang lumayan dekat. Membuat kedua pipinya itu memanas, jantungnya pun kembali bergemuruh.
'Ah, sial'
"Kenapa kau memukul wajahmu sendiri, sebenarnya apa yang kau pikirkan?" Boruto bertanya khawatir, tampa melepaskan genggamannya pada tangan Sarada.
"Eh itu anu aku hanya menyemangati diriku saja. Aku tadi sempat putus semangat belajar jadi hokage heheh" Celetuk Sarada asal sembari memalingkan wajahnya kearah lain.
"Hmm benarkah?" Boruto menaik turunkan alisnya seperti tak percaya akan alasan Sarada.
"Pipimu sampai memerah seperti ini, kau terlalu memaksakan diri. Jika kamu lelah, istirahat lah Sarada." Ucap Boruto yang tampa sadar menyentuh pipi Sarada.
"I-iya benar. Sudah menjauhlah dariku, aku merasa pengap." Desis Sarada sedikit mendorong tubuh Boruto pelan. Jika berlama-lama berdekatan dengan pria itu, bisa-bisa ia nantinya lupa diri.
"Baiklah-baiklah." Boruto manggut-manggut lalu kembali beringsut ketempat duduknya.
Tak terasa, hari pun sudah mulai menggelap. Bintang-bintang mulai bermunculan satu persatu serta hawa malam yang dingin perlahan menyentuh kulit-kulit mereka.
Setelah mengendalikan dirinya, Sarada kembali membeku berpikir akan suatu hal. Seumpamanya Sarada mengungkapkan perasaannya saat ini juga, apa kah Boruto akan membencinya? Ataukah ia pendam saja dalam-dalam perasaannya ini kedalam palung patah hatinya.
Jika dipikir-pikir pun, sudah bertahun-tahun Sarada tak mendapatkan kesempatan tuk mengungkapkan perasaannya ini. Bukankah ini saat yang tepat untuknya! Tetapi....
'Tidak ada gunanya!'
Tiba-tiba Boruto mendadak berdiri, membuat Sarada sontak menoleh kearahnya. "Suasananya sudah mulai dingin, sebaiknya kita harus pergi. Lagipula kau lelahkan, kau harus cepat istirahat." Tidak ada jawaban dari Sarada membuat Boruto perlahan melangkah meninggalkan Sarada yang duduk termangu menatap kepergiannya.
Cukup jauh ia melangkah, tiba-tiba intonasi 'Tunggu!' Menghentikan langkah Boruto. "Ada yang ingin ku sampaikan!"
Boruto berbalik menghadap sang empu. "Katakanlah." Ucap Boruto.
Sarada mengambil nafas dalam-dalam lalu mengeluarkan dari mulut. Keputusannya sudah bulat, ia akan mengatakan isi hatinya sekarang. Persetan dengan kenyataan 'tidak ada gunanya' toh kalau disimpan juga pun akan tetap sama saja hasilnya. Ia menatap dalam pada pemilik nayanika senada zamrud itu, kemudian berucap lantang.
"Aku mencintaimu!"
Sarada menunduk, untuk pertama kalinya ia merasa tubuhnya kini begitu ringan, seakan-akan beban yang dulu ia tanggung selama bertahun-tahun sudah ia lepas dengan begitu mudahnya. Tak perlu merangkai berbait-bait aksara indah jikalau hanya dengan dua kata singkat tersebut bisa membuat Sarada senyaman ini. Sarada merasa kalau sudah bertahun-tahun ini ia menjadi seorang pendusta dan kali ini ia sudah melepaskan status itu. Sarada dibuat deg-degan dengan jawaban Boruto selanjutnya, berharap kalau pria itu tidak membencinya.
Terpampang jelas dari ekspresi Boruto jika pria itu begitu terkejut akan ungkapan Sarada. Namun, setelahnya ia pun dapat mengembalikan raut wajahnya. Boruto mengukir seulas senyum lembut dengan sepasang matanya yang sedikit menyipit.
"Terimakasih, Sarada!"
Angin berhembus menghempaskan helaian rambut mereka. Tanpa sadar manik obsidian milik Sarada itu membulat, terkesiap akan jawaban Boruto. Perlahan netra hitamnya itu berganti warna secerah Arunika. Sharinggan nya selalu bangkit kala dirinya dalam keadaan emosional seperti ini.
Sarada menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Barisan kedua bingkaian matanya pun kini sudah dihiasi cucuran air mata bahagia.
Sarada melepaskan kedua tangannya dan kembali menatap lurus kearah Boruto. Sejenak ia terjerumus pada nayanika biru cerah milik Boruto. Nayanika yang dulunya pernah ia bandingkan dengan 'Nanadaime' idolanya tersebut. Kembali mendengus, Sarada berucap lembut dengan senyum manis yang terpatri di wajahnya.
""Boruto, terimakasih! Terimakasih sudah mau mendengarkan ungkapanku."
"Aku bahagia!"
"Terimakasih Boruto, dan terimakasih Chocho."
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Saigo No Hyōgen (END)
FantasíaKeterlambatan dalam menyatakan perasaan sendiri merupakan kesalahan terbesar dalam hidupku. Disaat dirinya sudah memilih orang lain. Disinilah aku, hanya menyesal menanggung rasa pilu. Sebuah keberanian tiba-tiba saja muncul tuk mengungkapkan perasa...