Teori Rindu 2 detik

77 10 4
                                    

Bahkan sebelum epilog tiba, semua orang tahu bahwa akhir dari kisah ini... kamu menghilang.

♡♡♡


Lagu-lagu yang kuputar pada kotak multimedia, itu untuk mengenang pertemuan kami. Atau sebenarnya, untuk mengenang kepergiannya.

Kuharap perginya bukan untuk yang tak pernah kembali. Kuharap perginya hanya sebentar, lalu kembali padaku untuk mengatakan, "aku rindu kamu."

Tapi bagiku dia tidak pernah pergi. Dia masih ada di tempat ini. Sambil menggenggam tanganku, meski aku tahu itu hanyalah bayangan semu. Meski aku tidak pernah mendengar suaranya. Meski aku tidak pernah melihat seperti apa rupanya. Aku tidak tahu apa warna matanya. Aku tidak tahu apa warna kulitnya. Bahkan warna rambutnya.

Yang aku tahu, dia beraroma lekat dengan aroma rinduku. Sampai aku bertemu seseorang dengan aroma yang sama, di sebuah tempat yang kusebut segara.



( t e o r i r i n d u )

Bab 2
Hujan September



Hujan gerimis mengguyur bulan septemberku kala itu. Aku jadi membatalkan rencanaku untuk pergi ke kedai Segara. Supaya aku tidak disebut orang gila karena minum es di waktu hujan begini.

Seharian itu aku sibuk mengurus naskahku. Berpikir antara mau melanjutkan atau menghapusnya. Bab satu justru menjadi sebuah bab yang membuatku bimbang setengah mati.

Namun dihari itu, jemariku bergerak. Aku tidak pernah melihatnya datang sebelumnya. Seolah ini satu keajaiban Tuhan. Yang membuatku mendapatkan satu pesan komentar pada bab itu.

"Emang gue siapa?"

Kupikir semua ini akan berhenti pada satu kalimat tanya saja yang kubalas dengan, "lah, emang siapa?" Tapi ternyata, komentar lain ikut bermunculan pada panel notifikasi. Membuatku berdecak kagum.

"Tuh gue aslinya."

"Woy, Amanda mantan gue."

Senyumku mulai melintang. Sesekali, aku membalas komentarnya meski sedikit canggung. Bahkan hingga detik ini, aku masih suka membaca ulang komentar-komentar lamanya pada salah satu ceritaku. Aku merasa deja vu.

Namun aku mengerti, semua tidak bisa kembali lagi seperti dulu. Sekarang pesan-pesan yang kukirimkan padanya tidak akan pernah dia terima lagi. Bubble-bubble chat itu tidak akan berubah dengan sebuah balasan.

Me : Hai, Ar. Apa kabar?
Me : Aku harap kamu nggak papa ya
Me : Aku mau bilang makasih sama kamu, buat semuanya. Makasih udah buat aku nggak nyerah dan percaya kalau kamu tetap akan jadi orang pertama yang punya novelku pas udah terbit. Semoga aja kamu nggak lupa ya, Ar.

Seandainya aku dulu tahu dia adalah sosok yang setia. Mungkin aku akan tarik kata-kataku begitu dia bertanya, "lo tahu nggak definisi jahat itu apa?" Yang kemudian aku menjawab dengan, "kamu."

Aku keterlaluan. Aku bodoh. Ternyata dia adalah orang baik yang pada saat itu mampu mengisi kekosonganku.

Tapi menyesal pun apa yang bisa berubah? Apa dengan menyesal, dia akan kembali pada rinduku? Apa dengan menyesal, pesan-pesanku akan dia terima? Apa dengan menyesal, lantas dia akan mengucapkan rindu padaku?

Andai aku punya satu mesin waktu, andai tongkat rani peri boleh kupinjam, kuyakin semua ini tidak akan pernah terjadi. Dan ketika itu aku punya kesempatan untuk mengulang kembali pada tahun yang sama.

Bahkan sebelum epilog tiba, semua orang tahu bahwa akhir dari kisah ini... dia menghilang. Tapi aku tidak rela semuanya harus selesai pada bab ini. Aku ingin semua orang tahu, bahwa hadirnya pernah berarti di hidupku.

Aku ingin menceritakannya lebih panjang dari durasi ketika kami bertemu. Aku ingin lebih lama merindukannya. Aku ingin kembali punya kesempatan melihat minuman matcha selalu menjadi ranking pertama di snapgram-nya setiap minggu.

Kesempatan-kesempatan itu akan aku jadikan sebuah bait. Dan aku selalu berharap dia akan membacanya. Bait itu akan aku rangkai lebih sempurna dari kumpulan puisi-puisi rindu.

Aku lebih takut ketika dia menghilang. Aku lebih takut kalimat 'apa kabar' dariku tidak dia jawab. Tapi dia sempat berkata, "kalau takut, sini peluk gue aja." Dia menulis itu di bulan september. Pesannya mendarat dengan mulus di bulan yang sama ketika telingaku sayup-sayup mendengar suara hujan.

Alasan apa yang membuatku harus melupakannya? Nyaris tidak ada. Barangkali tidak akan pernah bisa dilupakan.

Meski aslinya aku sudah benar-benar kehilangan dia, tapi ujung penantianku tidak akan pernah berakhir. Bagian-bagian kosong itu kembali menyatu. Meskipun, rasanya tak pernah lagi sama.

Pelajaran paling penting yang bisa aku dapat dari kehilangan dia adalah berusaha kuat dan tetap bertahan. Dari sejuta kata semangatnya, seolah energinya tersalurkan padaku. Itu membuatku tersenyum dan berkata, "semesta mencintaiku."




( t e o r i r i n d u )



Ar, rindu itu telah membawaku kepada penantian yang tak berujung.




Dia suka matcha.
Jadi untuk info update, follow instagram :

@melindasintawati

@ceritamelinda

@teoririnduku.wp


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Teori RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang