Teori Rindu 3 Detik

59 9 4
                                    

Terus gimana kalau endingnya aku yang jatuh cinta sama kamu?

♡♡♡

Setelah beberapa minggu dan hujan tidak kembali datang, aku baru mengunjungi kedai Segara lagi. Aku melihat langit hari itu sangat cerah. Rasanya seperti melihat senyumannya yang aku bayangkan begitu indah.

Kedai cukup ramai. Mau tidak mau aku harus mengantre lama agar bisa mencicipi minuman itu lagi. Minuman yang katanya segenggam rasa.

"Geseran dikit, dong!"

Aku terperanjat begitu seseorang menyesak posisi dudukku. Aku jadi harus sedikit bergeser padahal bangku panjang itu sudah sempit. Tapi yang membuatku terkejut bukan karena itu, melainkan aromanya. Aroma rindu ini aroma yang selalu ingin aku cium setiap saat. Dan ini kali pertama aku mendegar suaranya.

"Mas, matcha satu," katanya.

Dia memesan matcha. Padahal sebelumnya dia memesan rasa hazelnut. Atau selama ini tebakanku benar, bahwa hazelnut bukan kesukaannya. Tapi kalau matcha... justru mengingatkanku pada seseorang. Pada aroma rinduku yang lain. Yang pada setiap minggu, matcha yang menjadi nomor satu di snapgramnya.

Kebetulan itu di hari minggu. Aku tidak terlalu sibuk dengan setumpuk tugas sekolah. Ya karena pandemi mengubah segalanya. Tugas yang biasanya satu hari belum tentu ada, kini jadi ada tanpa sela. Itu cukup melelahkan. Belum lagi, kalau ada kelas online via Zoom dan sejenisnya. Dan rasanya sudah hampir sebelas-duabelas sama anak kuliahan.

"Pesananmu apa tadi?"

Bisa-bisanya Mas Segara lupa sama pesananku. Padahal aku sudah menunggu selama sepuluh menit lebih.

"Red velvet, Mas. Kayak biasanya."

"Owalah, oke."

Tapi seseorang tiba-tiba menyela. Orang di sebelahku itu berkata, "eh, Mas, punya saya ganti aja deh jangan matcha. Red velvet aja."

"Siap!"

Aku nyaris bertanya, "suka red velvet juga?" Tapi pertanyaan itu tidak berhasil keluar dari mulutku. Aku malah tertunduk malu.

"Lidah saya suka jelajah rasa. Jadi tiap pesan, nggak cuma konsisten sama satu varian doang. Kebetulan varian itu yang belum saya coba. Ya kan, Mas?"

"Yoi, bro."

Dia seolah mengerti arah pertanyaan yang tidak aku ucapkan. Dia mengatakan itu tanpa menoleh ke arahku sama sekali. Sikapnya begitu dingin tapi entah kenapa menenangkan.

Dan ketika pesananku siap, Mas Segara memberikan padaku dengan sedikit berbisik, "tadi dia ngomong sama kamu." Kemudian tertawa.

Aku terlanjur menahan malu. Sepertinya Mas Segara ini peka kalau aku suka curi-curi pandang ke laki-laki itu.

"Mas, saya pesan satu lagi deh buat adik saya. Tapi yang rasa taro, ya."

Kebetulan adikku memang suka sekali rasa taro. Jadi aku memesan satu untuknya supaya aku punya alasan untuk berlama-lama di sini. Atau dengan maksud lain, ingin melihatnya lebih lama.

"Kenapa nggak dari tadi, neng? Biar sekalian gitu." Kedai pun sudah mulai sepi. Lagi-lagi hanya menyisakan aku dan dia. Ini takdir kali, ya?

"Ya kan Masnya jualan, jadi harus siap layanin apa pun pesanan pembeli. Kok malah ngomel!" tegasku.

"Ya biar saya punya waktu ngobrol sama kalian!"

Kalian. Kata itu membuat dia langsung mendongak dari yang sebelumnya fokus dengan ponselnya. Kalian yang dimaksud, itu aku dan dia.

Teori RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang