365 hari

74 8 8
                                    

Selama ini, aku jatuh cinta pada orang yang sama

•••

( t e o r i   r i n d u )

Setahun lebih setelah dia pergi, aku tidak pernah lagi datang ke tempat itu. Aku tidak pernah lagi menikmati manisnya minuman itu. Karena tidak ingin sakit lagi dengan sisa memori yang masih membekas di sana.

Entah apa yang tiba-tiba ingin membuatku ingin kembali ke sana lagi setelah satu tahun. Pada tempat pertama aku menemukan dia.

"Eh, Mbak, apa kabar? Ke mana aja selama ini baru kelihatan?" Mas Segara sudah menyapaku dengan sangat antusias.

"Fokus sekolah, Mas. Kelas dua belas udah mulai sibuk," jawabku dengan sedikit berbohong.

"Mau pesan apa?"

"Hazelnut."

"Eh, udah ganti selera? Biasanya red velvet loh."

"Enggak. Pengen aja varian lain. Pengen jelajah rasa."

"Yaelah, bilang aja kangen sama dia."

Ya, perlu diakui jika ucapan Mas Segara itu benar. Aku merindukan dia. Merindukan segalanya yang ada padanya. Bahkan kuharap, dengan aku mencoba rasa hazelnut yang biasa dia pesan, aku bisa sejenak membayangkan dia ada di sini. Meski sudah lama dan aku mulai samar-samar mengingat wajahnya.

Aku tidak terbiasa dalam suasana ramai dan antrean panjang seperti ini. Rasanya aku ingin segera pulang dan meninggalkan pesanan tadi begitu saja. Namun, Mas Segara dengan ajaib melayaniku lebih dulu. Satu minuman segara rasa hazelnut dia sodorkan padaku beserta dengan sebuah surat yang katanya itu buatku.

"Loh, Mas, kok saya duluan?"

"Pelanggan spesial!" Surat itu terlihat sangat cantik dengan kertas warna coklat yang terkesan seperti vintage paper.

"Dari siapa?"

"Baca saja! Surat itu sudah setahun dititipin sama saya. Di kira saya tukang pos kali ya? Untung saya selalu bawa surat ini tiap hari, berharap Mbak datang, eh beneran datang. Panggilan alam kayaknya."

Sebelum Mas Segara mulai fokus pada pembeli lain, dia memberikanku sebuah spidol, katanya, "tulis kesan dan pesan ajaib di gelas segara itu. Biar seperti segara; segenggam rasa."

Aku menerimanya. Lalu aku mulai membaca isi surat itu yang demi apa pun, aku ingin berteriak sekeras-kerasnya.

Hai, kamu.

Bersama surat ini saya mengaku, saya jatuh cinta pada semestamu. Mungkin kamu tidak akan pernah mengira jika dunia sesempit itu. Saya yakin, setelah kamu membaca ini, kamu akan tahu siapa saya.

Saya sering bilang ke kamu, jika saya akan menjadi orang pertama, orang pertama, dan orang pertama buat kamu.

Saat kamu baca surat ini, mungkin saya sudah tidak pernah menyapa kamu apalagi bertemu kamu dan Mas Segara yang kelakuannya berhasil bikin kamu ilfeel tiap dicengcengin sama saya. Oh, ya, salam ya buat Mas Segara. Saya titip ini ke dia. Karena waktu itu sebenarnya saya mau jujur tentang siapa saya ke kamu pas terakhir saya di tempat ini, eh tapi kamu buru-buru pulang. Ya udah, saya tulis surat aja. Siapa tahu kamu ke sini lagi.

Saya tetap janji, Mel, bakal jadi orang pertama yang punya novel kamu nanti. Tapi jika saya masih ada di semesta ini. Saya tidak bisa cerita alasan mengapa saya pergi. Karena sejatinya kita hanyalah tokoh utama namun dalam buku yang berbeda. Semesta kita beda.

Sorry, Mel, surat ini mungkin bikin kamu risih. Karena kan biasanya saya kalau kasih komentar di cerita kamu selalu ngomong pake gue-elo. Maafin kegabutan yang ajaib ini.

Pokoknya semangat terus ya. Cuma itu yang bisa saya bilang. Oh, ya, saya suka rasa matcha bukan hazelnut. Tapi pas saya coba rasa red velvet kesukaan kamu, saya juga suka.

Izin pamit ya, Mel. Kalau semesta baik, dia pasti akan buat kita ketemu lagi. Dan terima kasih buat semuanya.

Aku tidak bisa menahan air mataku untuk tidak keluar. Biarlah orang melihatku cengeng. Biarlah orang menertawakanku hanya karena sebuah surat. Karena selama ini aku tidak pernah sadar jika dia yang selama ini kutemui, adalah aroma rinduku.

Selama ini, kami layaknya orang asing yang tidak pernah kenal, meski dalam dimensi lain kami suka bercanda ria.

"Mas, jadi dia itu Arsya? Yang selama ini jadi pembaca setia saya? Kenapa Mas nggak pernah kasih tau saya soal itu?"

"Kan Mbaknya yang tiap kali mau dikenalin sama dia nggak mau."

Aku menyesal akan itu. Atau mungkin selama ini Mas Segara tahu semuanya, makanya dia selalu meledekku tiap kali bertemu dia.

Jika kehadiranku di sini untuk mengenang pertemuan kami, aku sudah salah rasa. Dia tidak pernah suka hazelnut, dia sejatinya hanya mencintai matcha.

Tapi itu sudah telanjur. Aku tetap menuliskan kesan dan pesan di gelas minumanku yang belum kubuka, "terima kasih kepada rindu." Begitu tulisku.

Terima kasih untuk rindu yang pernah kubawa, aku akan menyimpannya dengan sangat baik. Sampai rindu itu terobati dengan sendirinya.

"Mau tukeran rasa nggak? Kebetulan aku nggak suka matcha."

Aku mendongak saat seseorang yang baru saja menerima minumannya dari Mas Segara itu tiba-tiba menawariku.

"Eh, nggak apa-apa emangnya?"

"Nggak apa-apa kok. Kayaknya kamu lebih butuh ini."

Aku menerima itu. Kamu bertukar rasa minuman. Namun yang membuatku terkesan adalah kalimat yang dia tulis di gelas minumannya, katanya begini, "rindu itu untuk disimpan, mana boleh ingin memilikinya."

Seolah, itu sengaja dia berikan padaku. Atau tentang dia yang baru saja kutemui, bukanlah tentang teori rindu, melainkan teori cinta.

.

( t e o r i   r i n d u )


Sampai bertemu lagi di Teori Cinta bersama semestaku yang lain.

Cerita ini cukup diakhiri seperti ini saja. Karena sejatinya memang sudah berakhir. Nantikan squelnya pada Teori Cinta. Oh, ya, kebetulan ini adalah short story/mini story. Jadi memang segitu saja chapternya.

Terima kasih kepada Arsya, terima kasih pada semua yang ada di Teori Rindu.

Teori RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang