1

5.5K 529 56
                                    


Hari ini begitu terik, matahari seakan mendekat pada bumi dan memancarkan panasnya dengan senang hati.

Jalanan ibu kota yang ramai dengan kendaraan dan klakson di mana-mana membuat suasana semakin terasa gersang.

"Kamu sudah dapat berapa?" tanya seorang anak kecil dengan baju lusuh pada seseorang di sebelahnya.

"Aku baru kejual 2, mobilnya tinggi tinggi banget suara aku ga kedengeran" anak lelaki yang lebih kecil menjawab.

Tawa didapatkan oleh yang lebih kecil.

"Bukan mobil yang tinggi kamu yang masih kecil Jaemin" ledekan Jaemin dapat dari anak di sebelahnya.

"Kak Jeno sok tau! ayah sama ibu bilang aku udah gede tau!" Jaemin menatap kesal dengan banyak lembaran koran yang ia cengkram menyalurkan rasa kesal.

Jeno menggeleng tidak setuju pada kalimat Jaemin, "Kamu masih kecil, orang tua kamu bohong biar mereka bisa suruh kamu kerja dan enak enak" Jeno berucap dengan enteng.

Tidak menyadari bahwa teman bicaranya sudah sangat kesal.

"Jangan bilang aneh aneh soal ayah ibu!" Jaemin berteriak pada Jeno kemudian berlalu pergi meninggalkan anak nakal itu.

Lampu lalu lintas sudah berubah menjadi merah, lebih baik Jaemin kembali menjual korannya yang masih banyak dari pada meladeni ucapan Jeno yang hanya berbicara buruk tentang ayah dan ibu.

Kaki kurus dengan sendal yang sudah buruk Jaemin bawa ke jalan raya yang sudah berjejer dengan mobil dan motor, tangan kecilnya ia angkat guna memperlihatkan koran yang ia jual kepada pengendara satu persatu.

"Itu berita utamanya apa dek?" salah seorang penumpang di angkot bertanya pada Jaemin sembari menunjuk koran yang Jaemin pegang.

"Aku ga tau om, ga bisa baca" jawab Jaemin polos.

"Masa penjual koran ga bisa baca" ucap supir angkot yang mengundang gelak tawa para penumpang.

Jaemin hanya menatap orang-orang itu bingung, memang kenapa kalau engga bisa baca? yang penting kan Jaemin masih bisa mencari uang untuk ayah dan ibu.

Ibu bilang sekolah itu ga penting, anak-anak memang ga bisa membaca nanti kalau sudah dewasa baru bisa membaca dengan sendirinya.

Jaemin akhirnya meninggalkan angkot itu, mereka terlihat tidak akan membeli dan hanya terus mentertawakan Jaemin.

Jeno melihat Jaemin yang kesulitan menyeberang karena lampu yang sudah menunjukan warna hijau. Jeno bergegas mendekati anak kecil yang 5 tahun lebih muda darinya itu, takut terjadi sesuatu pada Jaemin.

"Terimakasih kak" ucap Jaemin tepat setelah mereka berdua telah sampai di pinggir jalan.

"Kalau lampu udah kuning itu langsung lari ke pinggir Jaemin, nanti kamu keserempet motor kaya waktu itu lagi" omel Jeno.

Jaemin hanya dapat tertunduk, dapat Jeno lihat koran yang sedari tadi Jaemin bawa tidak berkurang sedikitpun.

Menghela napasnya berat, Jeno mengerti sekarang. Jaemin pasti sangat berjuang menjual koran koran itu sampai lupa melihat ke arah lampu lalu lintas.

Jeno kasihan sekali pada Jaemin, anak itu bahkan baru berusia 8 tahun dan mulai menjual koran seperti ini sejak 2 tahun yang lalu. Jaemin itu tidak bisa membaca tapi mengerti tentang uang, itupun Jeno yang mengajari karena iba melihat Jaemin yang sering tertipu pembeli koran.

"Makin sepi ya?" Jeno bertanya sedikit melembut.

Jaemin menganggukan kepalanya lemah sebagai jawaban dari pertanyaan Jeno.

Tidak heran memang jika makin kesini penjualan koran semakin menurun, ini sudah tahun 2019 banyak orang yang beralih membaca berita di ponsel pintar mereka. Jeno tentu paham tentang itu, dia jauh lebih dewasa dari Jaemin dan jauh lebih mengerti.

Jeno yakin Jaemin tidak mengerti alasan koran itu tidak terjual, Jaemin terlalu kecil dan lugu untuk memahami banyak hal seperti ini.

"Pulang yuk? sebentar lagi bakal ada satpol pp, Jaemin ingat kan satpol pp?"

"Om nakal yang suka tangkap kita?" Jaemin mendongak menatap Jeno.

"Iya om nakal, kita pulang ya sekarang" dapat Jeno lihat raut wajah Jaemin semakin sedih dan muram.

Tanpa menunggu lebih lama lagi Jeno menarik tangan kurus Jaemin dan membawanya pergi dari sana, pulang dengan berjalan kaki ke pinggiran kota.

Memang cukup jauh perjalanannya, tapi anak miskin seperti mereka bisa apa? jangankan uang untuk naik kendaraan umum, untuk makan satu kali saja sudah sangat kurang.

Di sini Jaemin sekarang, berdiri takut di depan rumah kecil yang kumuh dan kotor.

Sebenarnya bangunan di depannya itu tidak lagi layak dikatakan rumah, hanya bangunan begitu kecil dengan dus dan sampah disekelilingnya. Aroma tempat itu juga sangat buruk, busuk dan mengganggu pernapasan.

Ini lah rumah Jaemin, rumah untuk mereka yang mengalami kemiskinan parah di Negeri rendah ekonomi ini.

"ibu, Jaemin udah pulang" teriak Jaemin di depan pintu rumahnya.

Tak lama pintu dari triplek tipis itu terbuka, menampilkan wanita dewasa dengan tubuh gemuk yang sibuk menggaruk bagian bagian tubuhnya, mulutnya juga menguap dan mata yang masih sayu mengantuk.

"mana uangnya?" tanya wanita itu tanpa basa-basi.

Jaemin tersenyum cerah, kemudian memberikan uang yang ia genggam sedari tadi pada ibu nya.

Mata yang tadinya mengantuk sayu segera melotot ketika melihat uang yang berada di tangannya kini, wajah itu memberang seram lalu menatap Jaemin penuh emosi.

"Anak tolol!" wanita itu berseru marah kemudian menoyor kepala Jaemin kuat hingga anak kecil itu limbung terjatuh kebelakang.

"Uang dua puluh ribu untuk apa buat saya? jangan kan bermain judi, untuk makan sedikit saja kurang!" wanita itu terus saja berteriak penuh amarah sampai Jaemin ketakutan dibuatnya.

Ibu marah.

Jaemin tolol, uang yang Jaemin bawa kurang.

Ibu marah pada Jaemin.

Ibu bergerak cepat mengambil kayu besar di dekat pintu, Jaemin akan dipukuli lagi karena nakal membawa uang hanya sedikit.

Kayu besar itu mulai dipukulkan pada tubuh Jaemin dengan sangat kuat, Jaemin berteriak kesakitan, Jaemin tidak bisa beranjak karena ibunya menahan kaki Jaemin sembari memukuli tanpa berhenti.

Tangisan sakit Jaemin begitu memilukan, raungan demi raungan keluar dari mulut bocah malang itu, beberapa bagian mulai mengalir darah karena terluka sangat dalam dan tercabik paku yang menancap pada kayu besar itu.

"hiks ibu sudah! akhh! sakit ibu sakit!"

Ibu tidak peduli, semakin kerasa memukuli Jaemin yang berteriak meminta ampun padanya.

"sakit bu sakit! hiks ibu sudah!"

Ibu menjadi tuli, tidak sedikitpun mendengar tangisan Jaemin yang menyakitkan.

Tetangga hanya dapat melihat dari kejauhan, hal ini sudah biasa mereka lihat. Jaemin hampir setiap hari dipukuli seperti itu oleh ayah dan ibunya.

Menolong Jaemin? bukan pilihan yang menguntungkan bagi mereka.

Memang jika mereka menolong Jaemin apa yang mereka dapatkan? hanya membuang waktu saja.

Pemandangan ini cukup mereka tonton dan nikmati, nanti juga hal itu akan berhenti dan Jaemin akan tetap hidup.

Dia Berakhir. | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang