Dengung irama menjejal indera pendengaran Navabara. Gadis itu tengah bermalas-malasan diatas tempat tidur seraya membaca buku komik. Berusaha tidak mempedulikan ketukan di pintu kamarnya yang cukup keras.
Sampai akhirnya ketukan itu berubah menjadi pukulan keras yang membuat musik tak lagi ampuh menghalang bunyi di pintu.
Navabara lantas bangun dan membuka pintu jati yang berdiri kokoh, ditemuilah wajah kesal Sang Ibunda.
"Turun dan makan, Ayah sudah menunggu kamu daritadi. Kenapa susah sekali sih hanya disuruh makan bersama keluarga?" Ujar sang Ibu yang lantas langsung dituruti gadis itu.
Sepanjang lorong berhias lukisan dan benda-benda seni bernilai tinggi menuju ruang makan, Navabara merasa sudah kenyang oleh ocehan Sang Ibu yang berupa bisikan kecil. Beberapa pelayan pun mencuri pandang pada Ibu dan anak tersebut untuk sekedar mengetahui kekacauan apalagi yang dibuat Navabara.
Ketika akhirnya sampai di meja makan, Navabara menarik nafasnya panjang-panjang. Diantara kursi-kursi yang mengapit meja panjang, terduduk Sang Ayah di kursi terujung. Di sebelah kiri Ayah ialah kursi Ibu, dan sebelah kanan Ayah sudah pasti kursi milik anak tersayangnya, yaitu adik laki-laki Navabara.
Hanyalah ketukan jemari Ayah yang terdengar diantara sunyi mencekam di ruang makan tersebut. Pria paruh baya itu melirik singkat ke arah Navabara lalu melihat kearah arlojinya. Arloji yang tidak pernah lepas dari tangan Ayah. Arloji yang dibuat oleh kakek buyut, benda yang mengawali kesuksesan dan kemakmuran keluarganya.
Navabara tidak pernah gentar oleh apapun, siapapun. Terkecuali Satya Pradipta— Sang Ayah. Tatapan dingin itu semakin terasa asing, kerut di wajah ayah lebih menyeramkan daripada suasana di ruang makan.
"Saya tanya, kamu masih bisa diatur?"
Gadis bersurai hitam panjang itu berusaha menenangkan degub jantungnya ketika sebaris pertanyaan keluar dari mulut Sang Ayah.
Navabara mengumpulkan kekuatan untuk menjawabnya, "Bisa, Yah."
"Lantas kenapa masih saja begini sikapmu?!" Sebuah gelas terlempar ke sudut ruangan. Ayah tiba-tiba naik pitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑩𝒆𝒓𝒌𝒖𝒏𝒋𝒖𝒏𝒈 𝑷𝒂𝒅𝒂 𝑫𝒂𝒉𝒖𝒍𝒖.
ContoJikalau lelah berwujud air, maka bumi ini pasti tenggelam dalam putus asanya Navabara. Kala Ia memutuskan tuk meninggalkan semua seolah lenyap ditelan bumi, takdir pun bergurau. Namun harapnya didengar Tuhan, dia menghilang. Hilang dari realitas y...