𝐄𝐯𝐚𝐥𝐮𝐚𝐬𝐢 - [3]

25 4 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



"Aku butuh sendiri." Pinta Navabara dengan suara lemah hampir tak terdengar.

Ibu dan adiknya lantas menutup pintu dan membiarkan Navabara sendiri.

Ditatap oleh gadis itu pemandangan ibukota Jakarta dengan banyak gedung bertingkat seolah berlomba mencakar langit. Padat, sempit, dan polusi. Jemarinya meremas lengan sofa yang tengah ia duduki.

Sudah 5 hari Navabara dirawat dirumah sakit itu dan berdiam di kamar VVIP yang disewa oleh keluarganya, dan selama itu pula Navabara masih tidak bisa percaya bahwa ia benar-benar kembali. Tidak ada lagi jalanan lenggang dan udara sejuk, tidak ada lagi delman dan ojek sepeda ontel yang sering ia lihat, tidak ada lagi alun-alun yang jadul itu, tidak ada lagi Toko Sadafien dan Toko Kue Hanais, juga tidak ada mereka. Entah mungkin mereka memang tidak pernah ada, hanya imajinasi yang alam bawah sadarnya buat ketika ia tak sadarkan diri.

Sebenernya ia masih belum mengerti dengan jelas apa yang terjadi. Sang Ibu berkata bahwa Navabara ditemukan dengan tubuh pucat pasi juga dingin di gudang saat semua orang mencarinya malam itu.

Ia pun kritis dan dokter menyatakan bahwa Navabara mengalami gejala yang aneh. Hal tersebut berlangsung selama 3 bulan hingga akhirnya ia pun siuman.

Semuanya tak masuk akal, bahkan Sang Ayah yang berubah pun tak masuk akal. Kini pria paruh baya itu akan menyempatkan diri menjenguknya di malam dan pagi hari sebelum pergi bekerja. Namun Navabara acuh, ia hanya menjawab pertanyaan yang harus dijawab, tak lebih.

Harris pun sering membawakan banyak buku komik baru untuk Navabara, namun kakaknya itu hanya akan diam dan membiarkan dia mengoceh tanpa berniat membalas lalu Sang Ibu akan datang dan menyuruh Harris kembali ke rumah.

Gadis itu sudah kembali kan? Jadi apa yang dia tunggu? Kenapa rasanya ia kosong?

Ketika Navabara sudah diizinkan pulang, ia berusaha mencari tahu perihal kecelakaannya bersama Asrar. Jika ia benar-benar kembali ke masa lalu, pasti ada bukti keberadaannya di masa itu.

Ia menggulir internet, mencari data tentang Nayaka dan awal mula Sadafien Group. Berharap dapat menemukan setitik kecil bukti. Hingga Navabara menemukan sebuah video wawancara Nayaka sebagai narasumber dalam sebuah acara televisi lama.

Navabara menyaksikan apa yang dilakukan waktu pada kakek buyutnya. Kulit yang sudah terlipat oleh usia, rambut yang memutih, dan sosok yang renta. Namun tatapan cerdasnya tetap sama, Nayaka selalu cemerlang di matanya.

Di dalam video Nayaka ditanya,

"Selain Ibu Hanais, apakah ada orang lain yang begitu berjasa pada kesuksesan Bapak?"

Nayaka tua memejamkan matanya, lalu tersenyum. "Ada, dua orang yang sangat saya dan Hanais sayangi."

Jantung Navabara tertegun, hatinya patah. Ada reaksi panas disekitar mata dan hidungnya. Ia menarik nafas, menahan tangis.

"Lantas, dimana kedua orang tersebut?"

Pria renta itu menunduk, bahunya yang tak lagi tegap ikut turun. Senyumnya berubah pilu, "Di sisi Tuhan," Jawab Nayaka.

Tak lagi dapat menahan sungai yang menganak di matanya, Navabara menangis. Berselimut dan meringkuk, dadanya sesak.

Kala senyum dan iris biru tanpa permisi terlintas di kepalanya, Navabara semakin kalut oleh kesedihan karena ia tahu. Asrar telah tiada saat itu.

Berjam-jam Navabara menangis tersedu, Sang Ibu mengetuk pintu kamarnya. Ketika ditanya, Navabara menjawab bahwa ia baik-baik saja dan ingin tidur.

Saat Sang Ibu telah keluar, Ada seseorang yang masuk. Navabara terbaring memunggunginya. Bisa ia dengar orang itu terduduk dilantai. Dan menarik nafas panjang.

"Nak, maafkan Ayah. Kerasnya Ayah selama ini hanya ingin kamu tumbuh jadi anak yang kuat. Dan Ayah tidak ingin kamu terbebani oleh urusan Sadafien Group, maka dari itu Harris yang Ayah tunjuk. Ayah ingin putri Ayah hidup bahagia."

Lagi, Navabara menangis saat Sang Ayah akhirnya memanggilnya Putri Ayah.

Gadis itu lantas bangun, "Kenapa baru sekarang? Kemana Ayah dulu?" Airmata mengucur deras dari pelupuk matanya.

Sang Ayah terkejut mendapati Navabara ternyata masih terjaga, "Maafkan Ayah, Nak. Ayah sayang Nara."

Ketika panggilan kecilnya ia dengar, sontak tangisannya semakin menjadi.

Hanya itu, selama 17 tahun hanya kalimat itu yang ingin Navabara dengar. Tuhan, rasanya Navabara ingin terus menangis. Entah karena sedih atau sebaliknya.










•••

𝑩𝒆𝒓𝒌𝒖𝒏𝒋𝒖𝒏𝒈 𝑷𝒂𝒅𝒂 𝑫𝒂𝒉𝒖𝒍𝒖.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang