[ 12 ] Pertemanan

98 23 22
                                    

“K-katakan padaku k-kenapa kita harus repot-repot b-bangun pagi di h-hari Minggu?” celetuk Taeyeon dari dalam kamar mandi dengan mulut penuh busa. Dia memasukkan air ke dalam mulut dan berkumur beberapa kali. Mencuci ujung sikat sampai bersih untuk diletakkan di samping sikat gigi merah muda.

“Yuri tidak mau pergi sendirian ke galeri seni,” balas Tiffany sambil menggambar alis sebelah kiri, menjaga ketinggiannya sama rata dengan yang di sebelah kanan.

Taeyeon mendorong kepalanya menembus lubang sempit kaus hitam. Lalu menendang kaki kanan dan kiri secara bergantian ke dalam celana jeans. Selesai merapikan penampilannya, lelaki itu melewati pintu kamar mandi sambil berkomentar, “kalau begitu tidak usah pergi ke sana. Beres kan.”

“Coba kalau berani bilang sendiri sama Yuri.”

“Kamu saja yang ngomong ke dia.”

“Tuh kan kamu takut,” ledek Tiffany cekikikan.

“Bukan takut cuma tidak enak hati buat menolak.”

“Memangnya kenapa kamu malas pergi?”

“Capek menunggu Yuri berdiri bengong di depan lukisan selama berjam-jam. Itu kalau ada setan lewat bisa kesurupan.”

Tiffany menggeleng pelan melihat tingkah laku pria yang berbaring terlentang di atas tempat tidur. Sesungguhnya jika dibandingkan dengan sikap Yuri yang sama-sama menyimpang, gadis itu lebih kesulitan menghadapi kelakuan Taeyeon yang seperti anak kecil. Wajar saja, perbedaan pendapat kerap kali hadir mewarnai hubungan sepasang kekasih.

“Halo,” kata Tiffany ketika menekan tombol hijau pada layar ponsel.

“Kalian di mana?” tanya Yuri.

“Jalanan agak macet. Tunggu saja di sana. Sebentar lagi kami sampai,” jawab Tiffany tanpa membuka ruang diskusi sebelum memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Dia khawatir jika terlalu lama berbicara maka Yuri akan membongkar keberadaan mereka di dalam rumah.

“Ayo cepat berangkat!” desak gadis itu dengan nada suara tinggi yang setidaknya bisa membuat seekor cicak terkena serangan jantung.

“Ugh!” Taeyeon melompat dan menyeret kakinya keluar.

“Ngomong-ngomong, apa pendapat Jessica setelah bertemu Yuri?” tanya Tiffany ketika melajukan mobilnya meninggalkan gedung apartemen.

“Tidak ada.”

“Eh, tidak ada bagaimana?”

“Tidak ada ya tidak ada,” balas Taeyeon teringat kejadian tempo hari di mana Jessica memukul kepalanya dengan gulungan kertas. Dia terlalu antusias mempromosikan teman baiknya hingga lupa jika ditugaskan untuk menyiapkan ruang rapat. Dia melanjutkan, “mungkin Yuri bukan tipe idealnya.”

“Omong kosong. Siapa yang masih peduli dengan tipe ideal? Aku bahkan tidak punya standar apa-apa.”

“Itu kan kamu. Mau bagaimana lagi jika Jessica memang punya tipe tertentu. Kalau suka, like. Kalau tidak, swipe.”

“Sepertinya dia mencari pria dewasa.”

Taeyeon tidak menanggapi. Pikirannya melayang pada air mata yang jatuh di pesta pernikahan. Dia berharap ketika Jessica bertemu wajah baru, itu dapat membawa perubahan garis di bibirnya.

She’s beautiful when she smiles.

Dalam hati kecil Taeyeon merasa sedikit bersalah telah memaksa Jessica untuk datang ke acara kencan buta. Mungkin gadis itu belum siap dan butuh waktu lebih lama untuk mengosongkan hati. Terkadang dia melihat Jessica berdiri di dekat jendela ruang kerja dengan tatapan mata kosong. Itulah mengapa Taeyeon sering mencari masalah dalam pekerjaan. Ketika tidak ada orang di sekitarnya, pria muda itu mengetuk pintu ruangan Jessica dan melarikan diri.

Sleep CallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang