[ 14 ] Kenyataan pahit

127 20 31
                                    

Winter mengetuk ujung sepatu ke permukaan lantai, menimbang-nimbang apakah itu ide yang buruk untuk datang ke rumah ketua kelasnya. Sekolah bukanlah tempat yang tepat untuk membicarakan masalah pribadi jadi di sanalah dia sekarang. Winter tidak bisa mundur seperti pengecut setelah menghabiskan waktu selama dua jam di depan pagar rumah itu.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Karina menghentikan laju sepedanya. Bimbingan belajar di luar sekolah menyebabkan gadis itu pulang terlambat.

“Bisakah kita bicara?”

“Sekarang?” suaranya agak bimbang. Karina melirik jam tangan yang menunjukkan pukul lima sore. Dia harus bergegas masuk ke rumah jika tidak ingin mendapat omelan dari ibunya.

“Ya.”

“Maaf, aku tidak bisa menghabiskan lebih banyak waktu di luar.”

“Aku tahu. Dulu kamu pernah bercerita tentang batasan waktu bermain dan pulang ke rumah sebelum hari gelap.”

“Ya, itu masih berlaku sampai sekarang.”

“Aku tidak keberatan untuk mengobrol di kamarmu. Mungkin dengan alasan belajar kelompok atau semacamnya.”

Karina mengangguk, “masuklah.”

“Kamarmu berbeda,” komentar gadis itu ketika melewati pintu yang terbuka lebar. Bola matanya bergerak tak tentu arah mengamati gambar-gambar yang tertempel di dinding. Terakhir kali Winter menginjakkan kaki di sana; sekitar lima tahun yang lalu, itu hanya sebuah kamar dengan dinding polos berwarna putih.

“Aku menambah beberapa poster dan pernak pernik kecil sebagai dekorasi.”

“Terlihat lebih bagus,” gumam Winter menjatuhkan tas di lantai lalu duduk di tepi ranjang.

“Jadi apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Karina dengan hati-hati mengambil tempat kosong di sampingnya.

“A-aku.. M-maaf.. Kau tahu.. Aku pikir.. S-sungguh aku tidak tahu.. Itu b-bukan kamu yang salah..” Hanya perlu satu tarikan nafas untuk membuat suaranya gemetar. Gadis itu tidak pernah pandai menyusun kata-kata.

Karina mencoba mendengar apa yang ingin disampaikan. Namun, kalimat gadis itu terlalu sulit dimengerti. Semua berantakan. Tidak hanya ucapan tetapi juga penampilan. Khawatir jika teman sekelasnya akan segera kehabisan nafas, Karina meletakkan sekotak tisu di sampingnya.

“Terima kasih,” balas Winter menghapus air mata dan membuang ingus. Kemudian dia melanjutkan dengan satu kalimat penutup yang ambigu, “jadi begitulah ceritanya.”

Karina termangu, “aku tidak mengerti.”

“Bagian mana?”

“Semuanya. Jangan menangis dan bicara lebih lambat.”

Sekali lagi Winter membersihkan kotoran di hidungnya dan mengatur udara yang masuk ke paru-paru. Setelah merasa cukup tenang dia mengatakan, “aku meminta maaf untuk kejadian di kelas waktu itu. Maksudku, kau tahu, selepas tugas kelompok matematika kita tidak seharusnya─”

“Aku mengerti,” potong Karina cepat, terlalu malu untuk mengingat kembali.

“Ada rumor buruk tentang diriku yang beredar dari mulut ke mulut dan aku mengira kamu pelakunya. Aku merasa bodoh karena tidak mencari tahu kebenarannya. Lalu hari ini Nyonya Bae memanggilku dan mengatakan bahwa kamu mengundurkan diri dari kelompok paduan suara untuk acara pentas seni. Apa itu karena omongan kasarku tempo hari? Aku benar-benar minta maaf.”

Itu benar. Alasan terbesar Karina mengundurkan diri karena ingin menebus kesalahan lantaran permohonan maafnya telah ditolak. Dia pikir cara terbaik yang bisa dilakukan adalah dengan mengabulkan permintaan perempuan tersebut. Dengan begitu hatinya akan terbebas dari rasa bersalah.

Sleep CallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang