1

1K 124 5
                                    

Aku tidak ingin membangunkanmu.
Terima kasih untuk malam yang luar biasa.

Untuk kesekian kalinya, Jisoo membaca pesan singkat itu. Dia tidak tahu persis perasaan apa yang sedang menyesaki dadanya. Terkejut, kecewa, atau marah? Yang jelas, bukan senang karena dia tidak senang sama sekali.

Saat ini, dia duduk di tempat tidur, dalam kamarnya yang terang dan hangat, hanya mengenakan celana boxer, sementara tubuh bagian atasnya terekspos. Dia diam lama. Kedua siku bertumpu dilutut. Satu tangannya menjulur lemas ke lantai, satu yang lain menggenggam secarik kertas kecil yang dia temukan tadi pada kepala lampu beberapa menit yang lalu.

Beberapa menit yang lalu, dia terbangun oleh serbuan sinar matahari pagi yang menerobos masuk lewat jendela. Dia mengerang pelan dan menutupi matanya dengan tangan. Setelah pandangannya jelas dia melihat sisi kanan tempat tidur kosong.

"Jennie."

Dia bergumam memanggil perempuan itu.

Semalam, perempuan itu meringkuk di sisi kanan tempat tidurnya, memeluk lengannya dan merebahkan kepala ke dadanya dengan manja. Dia sempat mengira perempuan itu sedang berada di dapur untuk membuatkannya secangkir kopi panas. Namun, dia menyadari barang-barang perempuan itu sudah tidak ada. Dan dia menemukan secarik kertas pada kepala lampu yang merunduk.

Lagi, Jisoo membaca pesan singkat yang ditinggalkan oleh Jennie untuknya. "Luar biasa," kata perempuan itu. Jisoo tersenyum sinis. Dia mengangkat kepala lalu memutar pandangan.

Kamarnya berantakan. Botol-botol minuman dan gelas-gelas kristal terguling diatas kabinet hitam dialah satu sisi ruangan. Ada gengan wiski dilantai kayu. Kemejanya tergeletak tidak jauh dari genangan itu, bersama ikat pinggang dan sepasang pantofel. Di dinding, pigura-pigura miring ke berbagai arah. Sementara itu, di sisi ruangan lain, selembar tirai tercabut dari langit-langit dan karpet kusut kehilangan bentuk.

"Hem... Ya. Luar biasa." Gumamnya. Kata itulah yang tepat untuk menggambarkan apa yang dia alami bersama Jennie semalam.

Hampir satu tahun mereka tidak bertemu. Sepuluh bulan, barangkali. Atau, sebelas. Bayangkan, sebesar apa kerinduan dan hasrat yang terpendam selama itu. Kecupan dan ciuman, seintim apapun, tidak terasa cukup. Begitu pula dengan sentuhan dan pelukan. Ada semacam dahaga yang baru bisa hilang setelah mereka melalui percintaan yang hebat, yang menyebabkan kekacauan pada kamarnya.

Begitulah. Dia memberikan Jennie malam yang luar biasa dan perempuan itu pergi secara diam-diam. Bagus sekali.

Jisoo meremas kertas tersebut, lalu membuangnya. Sambil memberengut, dia meninggalkan kamar. Langkahnya memburu. Dia menyurusi lorong serba kayu diujungnya terdapat pintu. Itu adalah perpustakaan, tempat dia berkutat dengan film dan pekerjaan.

Dia menghampiri laptop yang hampir selalu menyala di atas meja kerja. Jari-jarinya bergerak cepat menekan huruf-huruf. Untuk Jennie, dia menulis sebuah pesan balas melalui surel. Dan, tentu saja, isi surel itu mewakili suasana hatinya saat ini secara terang-terangan.

Setelah menekan tombol send, Jisoo tersenyum puas sedikit culas. Tidak ada perempuan yang boleh pergi secara diam-diam dari sisinya setelah bercinta. Dan merasa hal tersebut sah-sah saja dilakukan.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ada pesan baru yang masuk. Bukan dari Jennie, melainkan dari asistennya. Jelas, karna mereka tidak bertukar telepon.

Maaf, maaf. Aku tidak bermaksud mengganggu kalian. Cuma mau mengingatkanmu. Siang ini kita rapat dengan para kru. Pukul satu. Itu saja. Semoga pagi kalian menyenangkan.

'Kalian' yang dimaksud oleh asistennya adalah dia dan Jennie. Jisoo mendengus. Jari-jarinya bergerak mengetik balasan.

Majukan jadwal rapat. Aku tiba di di studio pukul sepuluh.

Untuk Kita Yang Memilih Cinta (JenSoo) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang