17

418 68 14
                                    



"Jujur, ya, Bos... aku sependapat dengan ibumu."

Jennie tidak merasa heran sama sekali sewaktu Lim berkata begitu kepadanya. Yah, ibunya dan Lim sama. Mereka mengagung-agungkan pernikahan. Walaupun itu terasa janggal bagi Jennie. Ibunya tidak lagi menikah secara teknis, sementara Lim bahkan belum beristri— baru bertunangan. Jadi, sebenarnya, keduanya tidak punya dasar untuk membela pernikahan. Namun, memang seperti itulah ibunya dan Lim. Doktrin budaya masa lalu telah tertanam begitu dalam di kepala mereka.

Salah Jennie sendiri. Seharusnya, dia tidak menceritakan masalahnya kepada Lim. Sia-sia. Dia hanya menambah sekutu untuk ibunya.

"Untuk masalah kalian, solusi yang lebih masuk akal ya... menikah."

Jennie memutar bola matanya. Kupingnya panas karena perkataan sok tahu rekannya. "Apa yang membuatmu berpendapat begitu?"

Lim mengangkat kedua tangan ke udara. "Bos, lihat situasi kalian sekarang. Beberapa bulan lagi kau melahirkan. Kalian akan punya anak. Masa kau tega membiarkan bayi di perutmu tidak punya ibu dan ayah?"

"Tanpa kami harus menikah pun, bayi di perutku tetap punya ibu dan ayah," balas Jennie.

"Ya, ya. Ibu dan ayah yang hidup berjauhan, yang belum tentu bertemu enam bulan sekali," sindir Lim.

"Oke, rencana kami tidak sempurna, memang. Tapi, apa yang sempurna di dunia ini? Pernikahan adalah hal mustahil bagi kami. Aku dan Jisoo tidak mungkin melakukan itu."

"Kenapa tidak, Bos? Hubungan kalian luar biasa baik belakangan ini."

"Aku benci pernikahan, Lim! Apa kau lupa itu?" Jennie menjerit tertahan. Pembicaraan ini mulai membuatnya senewen. Padahal, tadinya, dia dan Lim sedang memeriksa hasil editing film mereka di lantai paling atas studio Kim. Sekarang, mereka malah membahas masalah pribadi. "Aku antikomitmen, ingat?"

"Jennie-" Lim menatapnya sambil mengerutkan alis. Jennie berpaling menghindar, berpura-pura memelototi monitor. Dia tidak suka ekspresi sedih yang ditunjukkan oleh Lim. Dia tidak suka Lim memanggilnya dengan nama. Seakan-akan, lelaki itu peduli. Namun, jika memang peduli, lelaki itu tidak akan mendesaknya terjun ke jurang.

"Kau mudah saja bicara pernikahan. Buatmu, mungkin itu sakral dan indah, seperti dongeng yang berakhir bahagia selama-lamanya. Buatku, pernikahan berarti meninggalkan semua yang kumiliki saat ini," kata Jennie. Washington. National Geographic. Perjalanan-perjalanan yang akan ditempuhnya pada masa mendatang.  Film-film yang akan dibuatnya. Impian-impiannya. Karena, pasti dia yang diminta berkorban. Perempuan yang harus melepaskan impian. Sejak dahulu, selalu begitu.

"Demi Jisoo. Kau tidak mau melakukan itu demi Jisoo?" tanya Lim. Suara lelaki itu pelan, penuh kehati-hatian. Jennie tertawa getir.

Dia menjawab, "Justru, karena dia Jisoo, aku tidak mau. Kita sedang membicarakan lelaki yang dalam tiga bulan bisa berganti perempuan berkali-kali. Menurutmu, berapa lama pernikahan kami akan bertahan? Setahun pun belum tentu."

"Kau tidak tahu itu. Pernikahan kalian bisa saja berhasil." Lim mengedikkan bahu.

Jennie menggeleng. "Aku kenal Jisoo sudah lama. Percayalah, pernikahan kami tidak akan berhasil. Cepat atau lambat, dia akan bosan kepadaku. Dia akan melirik perempuan lain dan pergi. Lalu, setelah semua berantakan, apa yang tersisa untukku? Tidak ada."

Lim terdiam. Ruang editing menjadi senyap, menyisakan dengung lirih kipas komputer yang sedang mereka pergunakan. Lalu, Jennie mendengar rekannya menghela napas. Lelaki itu mengangguk.

"Sepertinya, aku mengerti. Kau bukan cuma takut kehilangan kehidupanmu di Washington, Bos. Sebenarnya, kau takut terluka. Kau takut Jisoo menyakitimu."

Jennie tertegun.

Untuk Kita Yang Memilih Cinta (JenSoo) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang