21

341 57 3
                                    


Kursor di layar laptopnya berkedip-kedip di akhir surat, tepat setelah dia menuliskan "Sincerely yours" dan namanya: Jennie Ruby Jane—yang akan berubah menjadi Jennie Kim. Dia menggerakkan kursor ke atas, ke tombol "send". Jari-jarinya membeku saat dia hendak mengirim surat itu.

Jennie menggigit bibir. Matanya menelusuri barisan kalimat yang baru dia tulis. Dia sedang membuat surat pengunduran diri. Ini hanya formalitas. Beberapa hari yang lalu, dia sudah menelepon atasannya di National Geographic Channel untuk menyampaikan niatnya berhenti bekerja tepat setelah proses pascaproduksi filmnya selesai.

Niatnya tidak disambut dengan baik. Atasannya melepasnya dengan setengah hati, sambil berusaha membuatnya menyesal karena meninggalkan institusi yang telah membiayai perjalanan-perjalanannya selama bertahun-tahun.

Namun, keputusan sudah diambil. Baik dia maupun atasannya tidak bisa mengubah itu.

"Jennie." Suara mamanya. Perempuan itu memanggil dari balik pintu, dari luar kamar. "Jisoo sudah datang."

"Aku akan segera keluar, Mam," sahut Jennie. Dia melirik pintu tersebut. "Temani dia sebentar, oke? Tapi, tolong, jangan berkata yang aneh-aneh kepadanya."

Lalu, mamanya pergi diiringi suara langkah.

Jennie kembali pada masalah di hadapannya. Mengirim surat pengunduran diri tidak semudah yang dia bayangkan. Meskipun keputusan sudah diambil, pada momen-momen seperti ini, rasa ragu masih kerap mengusik. Dan, Jennie tahu bahwa itu hanya akan berhenti setelah dia benar-benar terputus dari segala hal yang menghubungkannya dengan Washington.

Dia menetapkan hati, lalu menekan tombol"send". Yahoo! Mail pun melakukan tugasnya. Dia menghela napas setelah itu. Rasanya, seperti habis memenangkan sebuah pertempuran. Pertempuran antara cinta dan ego, jika meminjam istilah ibunya. Serimpi.

Ponselnya berbunyi. Jisoo mengirim pesan teks.

Serius? Kau membiarkan aku terjebak bersama ibu dan ayahmu?

Seperti biasa, lelaki itu menggerutu. Jennie cekikikan. Dia mematikan laptopnya. Pakaiannya kaus tua yang longgar dan pudar, maka dia menghampiri lemari di sudut kamarnya untuk mencari sepasang blus dan celana yang tidak akan memancing sinisme Jisoo. Jennie meninggalkan ruangan tidak lama kemudian sambil menyambar tasnya yang bergelantung di pintu, dengan penampilan yang jauh lebih rapi.

Di ruang duduk, dia mendapati ibu dan ayahnya sedang menyiksa Jisoo dengan sejumlah pertanyaan. "Jadi, tanggal berapa kalian akan menikah?" Itu salah satunya.

Jisoo berdehem. Wajah pria itu sedikit pucat. “Kami belum menemukan tanggalnya,” jawab pria itu.

"Cepat cari tanggal, kalau begitu. Ini sudah lebih dari sebulan sejak kalian memutuskan menikah. Apa yang kalian tunggu?"

"Saya berpikir, mungkin lebih baik kami menikah setelah Jennie melahirkan."

"Saya justru berpikir, lebih baik kalian menikah sebelum Jennie melahirkan." Ibu Jennie tidak mau kalah.

Ayah Jennie juga. "Orangtuamu sudah tahu, tentu?"

"Ya, tentu. Mereka sudah tahu." Jisoo mengangguk.

"Saya ingin bertemu dengan mereka. Bisa?"

"Orangtua saya di Belanda. Beberapa tahun ini, mereka mengurus bisnis di sana."

"Oh, begitu? Kapan mereka kembali?"

"Astaga, Mam, Pap. Setop, deh." Jennie buru-buru turun tangan menyelamatkan Jisoo. "Nanti kalian membuat calon suamiku lari," guraunya. Dia merunduk kepada Jisoo dan menyapa lelaki itu dengan ciuman.

Untuk Kita Yang Memilih Cinta (JenSoo) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang