14

388 70 4
                                    




Kalau dipikir-pikir, dia tidak pernah bertengkar dengan Jisoo sebelumnya. Sebelumnya, hubungan mereka sebatas fisik. Dia dan lelaki itu tidak terlibat secara emosional. Ini kali pertama. Ini juga akan menjadi kali terakhir, Jennie bersumpah. Ini melelahkan baginya, sama sekali tidak menyenangkan.

Gara-gara Jisoo, dia menangis semalaman. Kini, matanya bengkak. Suaranya pun habis. Tidak hanya itu, kepalanya berat seperti ditunggangi hantu Bhangarh. Dia heran mengapa ada perempuan yang mau menikah dan mengalami pertengkaran dengan pasangannya berulang-ulang secara terus-menerus di sisa hidupnya. Apa keuntungannya?

"Pakai ini. Bengkak di matamu akan cepat hilang nanti." Jennie disodori dua iris mentimun oleh ibunya. Dengan isyarat tangan, ibunya menyuruhnya menggunakan buah hijau yang berair itu untuk mengompres mata. Dia menurut. Sambil setengah berbaring di bangku kayu di beranda, dia menikmati sensasi dingin yang memanjakan kulitnya.

"Kau ini seperti gadis remaja saja. Menangis semalaman." Ibunya tertawa geli. Aroma legit dan asam berbaur di udara. Perempuan itu sedang mengupas mangga. Jennie memang meminta dibuatkan rujak oleh perempuan itu tadi. Rujak telah menjadi camilan kesukaannya sejak dia mengandung.

Dia memberengut diledek ibunya. "Hormon," dalihnya seperti dahulu.

"Iya, iya. Hormon," sahut ibunya. Tawa perempuan itu memudar perlahan-lahan. Lalu, setelah beberapa saat, perempuan itu bertanya, "Jisoo datang menemuimu kemarin, ya?" Dahi Jennie berkerut. Jennie menggeser sedikit salah satu mentimun yang menutupi matanya. "Kok Mama tahu?" Dia melirik ibunya.

Ibunya balas mengerling ke arahnya. "Si Nduk yang kasih tahu. Katanya, kemarin ada tamu." Jennie berdecak. Si Nduk. Dasar, tukang mengintip, gerutunya dalam hati.

"Masalah kalian belum selesai, Jennie?" tanya ibunya lagi.

"Masalah kami tidak mungkin selesai, Mam," jawab Jennie.

Dia mendengar ibunya mendesah. "Kalian perempuan dan lelaki dewasa. Masa kalian tidak bisa menemukan jalan tengah?"

"Aku tidak suka jalan tengah."

"Dia jauh-jauh datang dari Flores demi kau. Itu patut dihargai. Paling tidak, kau harus memberi dia kesempatan untuk memperbaiki situasi."

Jennie berdecak lagi. "Kenapa Mama begitu membelanya, sih?" Dengan jengkel, dia bangkit. Mentimun-mentimun di matanya berjatuhan ke pangkuan. Dia mengusap-usap pipinya, menyingkirkan biji-biji yang tersisa. Dia dan ibunya beradu pandangan. "Dia jauh-jauh datang dari Flores, lalu kenapa? Apa aku harus terharu karena itu?”

"Memangnya, kau tidak terharu?"

"Aku—" Kalimat Jennie menggantung di ujung lidah. Dia gelagapan mencari bantahan.

Melihatnya mati kutu, ibunya tersenyum penuh kemenangan. Namun, ibunya tidak berkata apa-apa untuk menangkap basah dirinya. Perempuan itu mengangguk-angguk, lalu kembali asyik mengupas mangga.

Beranda menjadi hening. Dalam diam, Jennie menelan ludah.

Baiklah. Sebenarnya, dia cukup terharu. Dia tahu berapa. lama waktu yang dibutuhkan untuk kembali dari Flores ke Jakarta. Dan, Jisoo tampak sangat kelelahan kemarin. Lelaki itu bahkan muncul di hadapannya dalam keadaan yang berantakan. Biasanya, lelaki itu rapi dan wangi. Jarang-jarang dia mendapati lelaki itu kusut dan berjenggot meskipun, diam- diam, dia menyukai lelaki itu berjenggot.

Di satu sisi, dia ingin menghapus rasa lelah lelaki itu dengan ciuman yang lembut. Di sisi lain, dia tidak bisa melawan egonya. Egonya memegang kendali penuh atas hati dan pikirannya. Itu sebabnya dia bersikap dingin dan mengucapkan kata-kata yang menyakitkan. Kini, dia sedikit menyesal karena telah memperlakukan lelaki itu dengan buruk kemarin.

Untuk Kita Yang Memilih Cinta (JenSoo) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang