3. A Gift From The Hear

59 12 1
                                    

-------

HappyReading

Membayangkan seberapa senang sang ayah menerima hadiahnya, Adelyn tak henti hentinya tersenyum. Matanya yang indah semakin berkilau penuh binar.

Kaki kecilnya melompat riang dan melangkah menuju kamar. 

Ia berjongkok di depan tempat tidurnya, jemari kecil itu menjangkau sebuah kotak berukuran 30x25x8cm yang ia simpan. Kotak yang ia hias sedemikian rupa dengan gambar bunga-bunga kecil dan pita warna-warni agar layak untuk ia beri pada sang ayah. 

"Hihi, Ly yakin pasti dad suka sama hadiah dari Ly. Kalau dad gak suka, Ly harap dad jangan buang hadiahnya, ya?" Ucap Adelyn  tersenyum penuh harapan, yah Adelyn memang seperti itu, anak kecil yang masih memiliki banyak mimpi dan harapan. 

Ia membuka kotak itu, tapi merasa ada yang kurang, Adelyn berpikir apa yang harus ia beri lagi sebagai hadiah? Apakah ia harus memberikan boneka kesayangannya?

Hm, itu ide yang Bagus!

Meletakan kotak itu, Adelyn membuka lemari kecil miliknya yang berada dipojok dan mengambil sebuah boneka yang selama ini menjadi teman bermainnya.

Tapi sepertinya, hadiah origami, dan sebuah boneka pun kurang dari cukup.

Adelyn menggembungkan pipinya, ia merasa kekurangan ide. Di lemari ada pakaiannya, tapi tidak mungkin ia berikan kepada ayahnya.

Di meja pun hanya ada kertas origami, buku gambar dan pensil warna dan alat tulis lainnya.

Apa yang harus ia buat lagi ya? Kemarin, apa yang diberi tahu ibu guru ya jika ingin memberikan hadiah lebih bermakna dan spesial?

Hem...apakah ungkapan terima kasih dan harapan? Itu Bagus, tapi ia tidak pintar berkata kata. 

Tidak apa! Ini demi Daddy, semangat Ly!

Adelyn dengan semangat yang menggebu-gebu, menghampiri meja belajarnya, mengambil selembar kertas, gunting, pensil, pensil warna dan lem. 

Berkali-kali ia merangkai kata, tapi tak kunjung menemukan susunan kalimat yang pas. Jemari kecilnya menggenggam pensil erat, sementara alisnya mengerut. Ia mencoba menuliskan sesuatu, namun segera menghapusnya lagi.

Jam demi jam pun berlalu, sudah lebih dari 3 jam Adelyn berkutat pada kegiatan menulisnya. Belum ada 5 menit ia menyelesaikannya, pun kini ia sedang menghiasnya. Ada lebih dari satu yang ia buat. 

Adelyn bersorak ria, ini adalah hasil dari kerja kerasnya!

"Sekarang tinggal kasih ke Uncle Sammy, tapi Ly belum mandi," gumam Adelyn merasa bahwa ia berkeringat dan rambut yang lembap. 

Melirik jam weker berbentuk panda yang ada di depannya, Adelyn memutuskan untuk mandi. Lagi pun jam jenguk di rumah sakit kurang dari 1jam atau pukul  4 sore itu cukup untuk dirinya bersiap siap. 

Adelyn memasukkan hasil karyanya ke dalam kotak penuh kehati-hatian, dan tersenyum puas. "Pasti dad suka sama hadiahnya."

Dengan langkah kecil yang riang, ia menuju kamar mandi, dan suara gemericik air mulai terdengar.

Yup, Adelyn memang se-mandiri itu.

Setelah mandi, Adelyn kembali ke kamarnya. Rambutnya yang basah dibiarkan terurai, sementara ia sibuk memilih pakaian terbaik dari lemarinya. "Hem, yang mana ya? Yang ini aja deh, biar cantik waktu ketemu Dad," ucapnya sambil mengambil dress kesukaannya.

Setelah berpakaian rapi, ia kembali memastikan kotak hadiahnya aman. Senyum puas kembali terukir di wajahnya. "Semua udah siap! Sekarang tinggal tunggu Uncle Sammy ajak Ly ke rumah sakit," katanya penuh semangat.

Adelyn duduk di tepi tempat tidurnya sambil menatap kotak hadiah itu. Meski kecil, hatinya dipenuhi rasa bangga.

Hadiah itu bukan hanya sekadar benda, tapi juga ungkapan kasih sayang tulus seorang anak untuk ayahnya.

------

Abrar, seorang ayah, kini kembali termenung di atas brankar rumah sakit. Pandangannya kosong menatap langit-langit ruangan yang putih bersih, namun pikirannya penuh dengan bayangan kelam masa lalu. 

Ribuan kata maaf penuh penyesalan terus bergema dalam hatinya, seakan berusaha menebus sesuatu yang tak mungkin ia ubah.

Memori-memori menyakitkan kembali hadir, menghantui tanpa henti. Suara tangisan, kata-kata yang pernah ia ucapkan dengan nada tinggi, hingga janji-janji yang tak sempat ia tepati, semuanya berputar seperti film lama yang diputar ulang. 

Ia menghela napas panjang, berusaha mengusir rasa bersalah yang menyesakkan dada.

"Kini bukan lagi andai dan mungkin," ucapnya dalam hati dengan mata yang berkaca-kaca. "Karena aku telah mengulang waktu, meskipun tidak saat Angel masih hidup, tapi ada Adelyn putri kecilku."

Abrar menarik nafasnya dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran dalam dadanya. Semua ada pada segala tindakannya nanti. Ini adalah awal dari segala akhir yang ada. 

Ia teringat senyuman manis penuh keceriaan dari Adelyn, ia tidak akan menghilangkan senyuman itu lagi. Adelyn adalah alasan untuk terus berjuang,  menebus segala kesalahan yang telah ia lakukan, dan memberikan apa yang seharusnya ia berikan sebagai seorang ayah.  

Termasuk memberikan mereka pelajaran karena berani mengusik dirinya. Kematian Adelyn bukan semata-mata kecelakaan biasa yang terjadi begitu saja tanpa alasan yang lebih jelas. 

"Ly, biarkan Dad yang mengurus ini," bisik Abrar pelan, suara serak karena menahan emosi yang membuncah. Ia memejamkan mata, merasakan perasaan gelap yang melingkupi pikirannya.

_____

19 November 2024

18.15


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Perfect Daddy!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang