Kita Tak Perlu Senja

30 2 0
                                    


Pada pagi yang kecerahannya sedang dihisap oleh kepulan awan hitam. Aku berjalan masuk gerbang sekolahku sambil sesekali menadahkan wajah ke arah langit. Dengan menutup mata. Sedikit kurasakan rintik tipis air yang bahkan lebih lembut dari belaian embun pagi. Seolah Tuhan bukan sedang menumpahkan air ke bumi melainkan hanya menyemprotkan tipis-tipis air dengan botol spray.

Mataku pun terbuka. Kutemukan pemandangan indah di mana seberkas cahaya kuning berusaha menerobos di tengah kelabunya awan. Bumi bagai sedang kedatangan seorang mesias, pikirku. Walau cahayanya belum bisa mempersembahkan kehangatan pada tubuh yang dibalut dinginnya udara musim hujan, perasaan hangat telah lebih dulu tumbuh di jiwaku, seolah mesias hadir di sana.

Selesai memuja langit, aku melanjutkan laju kakiku menuju kelas. Di tepi tangga, kutemukan sosok yang selalu menggelitik tepian hatiku. Candra Bestari. Tatap dan gesturnya bagaikan sedang bertekuk lutut di hadapan buku tanpa memperhatikan tiap manusia yang lalu lalang. Melihatnya, senyumku tersimpul dengan sendirinya, dia selalu membaca tiap buku yang ku rekomendasikan dari perpustakaan.

Tanpa tunda tempo, ia akan membaca setiap judul yang telah ku baca terlebih dulu, pasti. Bahkan belum sampai ku kembalikan ke perpustakaan, dia tetap akan meminjamnya dengan mengembalikannya terlebih dahulu, sudah persis orang balik nama kendaraan saja.

Seperti halnya pagi ini. Ia membaca buku novel bergenre sureal Sepotong Senja Untuk Pacar, karya fenomenal Seno Gumira Ajidarma. Saat itu aku bilang padanya, "kamu pasti bakal suka moment di mana Sukab mengganti sepotong senja yang ia curi dengan senja yang ia pungut dari gorong-gorong". Mendengarku dia cuma tersenyum nyengir lalu menutup wajahnya dengan buku yang ku rekomendasikan sebelumnya. Senyumnya begitu manis di mataku walau tertutup buku. Semacam kecantikan dari sinar rembulan sebagaimana makna dari namanya, Candra. Dan Bestari, walau para guru sering salah mengira dia siswa perempuan, nama itu sangat cocok untuk membuatnya terlihat sebagai orang berpendidikan sesuai maknanya.

"Hey, Can!"

Sapaku secetar mungkin dengan niat menghamburkan konsentrasinya.

Aku berhasil, tapi tatap yang ia lontarkan dari celah buku begitu menakutkan. Sedetik kemudian, ia menepuk buku yang terbuka itu tepat mendarat di hidungku.

"Aww..."

Candra berjalan meninggalkanku yang kesakitan-yang sebenarnya nggak seberapa-menuju kelas. Dia pasti kesal karena kupanggil "Can". Pernah sekali dia bilang padaku untuk memanggil "Ndra" Atau sekalian lengkap "Candra". Alasannya sederhana sih, dia tidak suka namanya terdengar imut kalau kupanggil "Can".

"Ndra... Maaf donk, masak gitu aja marah sih?"

Candra masih terus berjalan dengan perlahan. Sampai akhirnya dia berhenti dan menengokku sesaat.

"Nanti kita diamuk Tya, Rey..."

Sesuatu menancap di dadaku mendengar Candra menyebut nama Tya. Seketika sadar bahwa posisi kami memang sangat sulit. Tak rumit, hanya saja ikatan antara Tya, Candra dan aku terlanjur membelenggu yang membuatku seketika mengambil langkah seribu.

"OH IYA! KITA PIKET NDRA'!!!"

*****

Aku bingung dengan rasa yang sedang mengisi benakku. Berbagai macam rasa sedang berkecamuk antri untuk secara bergiliran kurasakan. Haruskah bahagia karena mendapati kelas telah rapi sebab tak perlu piket. Ataukah merasa nggak enak sebab seakan mangkir dari tanggung jawab.

"Sana, Buang sampah sama Candra aja Rey"

Ujar Tya yang entah sedang simpati atau dendam. Kalau nggak piket bakal kena denda, tapi ya masak harus buang sampah yang notabene dilakukan anak cowok. Sebab apa? Yups, sebab cewek pada ogah karena merasa jijik dengan tong sampah termasuk aku.

Humour Of LibraryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang