Sebelum Jingga

18 1 0
                                    

Menjelang senja yang hangat. Sinar matahari menyorot jernih sapuan hujan di dedaunan. Sangat bening, bagai butiran kristal yang memantulkan kilau hangat keemasan. Diiringi denting lembut jemari Teduh yang memainkan piano untuk mengiringi lagu Kak Rahagi di ruang musik. Mustahil sekali kulewatkan. Sebuah suasana yang sangat sahaja bagi sebuah cinta.

"Yup! Selesai"

Aku menutup catatan rahasiaku di perpustakaan. Memakai hoodie putih yang sedari tadi ku letakkan di sampingku. Lalu memasukkan catatanku ke dalam tas.

"Ayo buruan Man ... Jam tutup udah kelewat 30 menit"

Seru Mas Mahes dengan malasnya. Seorang mahasiswa magang yang menjadi pustakawan. Dia teman Kak Rahagi dalam perkumpulan entah apa. Yang jelas gegara itu aku jadi dekat dengan Mas Mahes. Walau pemalas dan suka mengeluh dengan keinginanku untuk meminta waktu lebih di perpustakaan. Ia tetap akan mengabulkan permintaanku dengan muka masamnya.

"Iya ya Mas ... Aku pergi nih sekarang"

"Nice"

Jawab Mas Mahes Datar. Aku berjalan buru-buru menuju pintu keluar. Tapi tiba-tiba.

"Hoe!"

Aku berbalik mendengar Mas Mahes menyeruku dan "hap". Reflek, aku menangkap apa yang sedang ia lempar ke arahku. Segera aku memeriksa apa yang kugenggam.

"Kunci balkon?"

"Besok aku ngampus, jadi nggak bisa ke sekolah"

Jawab Mas Mahes yang sedang sibuk membuka bungkus permen karet ke arahku.

Aku tersenyum sesaat menerima pemberian Mas Mahes. Meraih tangannya. Menukar kunci dengan permen karet yang sudah terbuka bungkusnya.

"Mulai sekarang aku nggak butuh ini"

Mas Mahes terdiam. Tak mengucapkan apapun kecuali anggukan yang mengisyaratkan sebuah kepahaman. Semoga nyanyian Kak Rahagi di sore ini membuatnya paham. Bahwa hari-hari Rahagi akan dihiasi dengan kesejukan Teduh. Mas Mahes tak perlu menahan sakit kepala karena gemas melihatku yang selalu berselisih dengan Kak Rahagi di perpustakaan. Kedamaian akan menyelimuti kalian berdua, selamat ... Kak Rahagi dan Mas Mahes. Reyhan yang berisik dan sembrono ini akan lebih fokus dan mandiri untuk mengejar hatinya sendiri. Kalian bebas, hahahaha.

"Rey... "

Mas Mahes yang berlalu tiba-tiba berbalik dan memanggilku. Tak biasanya, maksudku panggilannya. Biasanya dia akan menyebutku namaku 'norman' atau 'man-man ..." dengan malas dan bernada seolah keluhan.

Ia berjalan kembali ke arah pintu perpustakaan. Berjongkok dan meletakkan sesuatu di bawah pot bunga.

"Ini cuma duplikat. Kalo butuh tempat langsung tanya bunga ini aja"

Mas Mahes menghampiriku sesaat. Memgambil permen karetnya kembali dan melesat pergi.

"Seperti biasanya ... Dia selalu di buru waktu"

Bisikku lirih pada diriku sendiri. Sambil melepas langkahnya yang berlalu cepat. Mas Mahes berjalan dengan lurus dan seolah penuh visi. Dia akan menatap lurus ke depan dan menghiraukan apapun yang dilalui. Namun saat kuperhatikan langkahnya lekat. Tanpa satu katapun, lengan Mas Mahes menunjuk lurus ke arah kiri.

Aku membaca isyaratnya dan menemukan hatiku yang berdesir. Memandang rimbunan hijau, hatiku teduh. Tuhan ... Bolehkan aku berharap? Bisakah kau pangkas jarak yang dibuat oleh hatiku sendiri menjadi sebuah keberanian?

Sosok Candra tengah tidur di bangku taman yang meneduh di bawah sebuah pohon. Begitu damai, dadanya mendekap buku yang sedang terbuka. Lagi-lagi buku yang sebelumnya kupinjam. Nyiur tak lagi melambai. Sebuah antologi cerpen sumbangan dari mahasiswa yang magang menjadi guru geografi di tahun lalu. Sebuah dongeng yang dimaksudkan sebagai kritik bahwa alam bukan sudah tak bersahaja. Pohon kelapa, lahan gambut, hutan bakau, dikisahkan dengan aksen balada yang lebih menyakitkan dari sekedar pupus cinta.

Humour Of LibraryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang