bab 2

14 0 1
                                    

Danar menempelkan obat luka pada punggungku yang berdarah. Aku tidak tau dendam apa yang dirinya tanamkan padaku sampai sampai ia menekan obat lukanya dengan sangat keras. Tak usah di tanya lagi, aku sudah pasti melolong kesakitan. Mengapa obat luka selalu membuat lukanya lebih perih dibandingkan tidak diberi apa apa?

Aku memukul mukul tangan Danar menggunakan kain untuk mengompres memar yang aku pegang, tanda bahwa aku menyerah. Lebih baik aku di pukuli beberapa kali dibandingkan harus berhadapan dengan obat luka yang menyiksa. Kasih sejak tadi memperhatikan diriku tanpa berkata apa apa. Sedangkan Galuh sibuk mengotak atik sesuatu.

"Ck, udah lah. Aku tau kita semua kekurangan uang. Tapi janganlah mencopet uang orang lain di pasar. Kita bisa mendapatkan uang lebih banyak dengan hal selain itu," kata Danar.

"Jangan berkata yang tidak tidak tentangku di depan Kasih. Kamu percaya kalau aku benar benar mencopet?" kata kataku membuat Danar terdiam sejenak kemudian ia kembali menyiapkan obat luka yang baru.

Danar adalah orang yang paling 'kaya' diantara kami. Dia punya uang yang cukup. Danar bekerja sebagai karyawan di suatu rumah makan yang cukup terkenal di kota ini. Sering kali ia membawa pulang makanan yang tersisa untuk kami. Terkadang Danar juga memberikan sebagian uangnya untuk aku dan Galuh. Katanya dengan uang itu kami bisa membeli apa yang kami mau. Bahkan Danar berbesar hati mau berbagi rumah denganku dan Kasih. Usianya berbeda 9 tahun dariku. Aku dan Galuh sudah menganggapnya seperti seorang kakak.

Galuh berusia lebih tua dariku, tapi lebih muda dari Danar. Dia jarang ada di rumah. Aku tidak pernah tau pekerjaannya. Yang pasti ia adalah seorang yang tak banyak bicara. Dan bau. Ku akui dia adalah orang terjorok yang pernah ada. Maksudku, untuk hal kecil seperti 'sebelum makan harus mencuci tangan' saja dia tak mau. Apa lagi mandi dan mengganti pakaian. Galuh juga tinggal bersamaku. Kami tidak pernah tau keberadaan orang tuanya. Sama seperti keberadaan ibuku.

"Kak, tolong kepangkan rambutku," Kasih menyodorkan ikat rambut padaku.

"Abangmu itu sedang sakit. Sini biar aku yang kepangkan," tawar Galuh. Kasih segera mengangguk. Kasih tak pernah membantah. Dia bukan anak perempuan yang keras kepala dan cengeng.
Aku tersenyum pada Galuh lalu melanjutkan mengompres air dingin pada memar di kakiku.

"Kepang dua ya Kak Galuh,".
"Ya,".
Sembari menunggu hasil kepangan dari Galuh, Kasih terus bersenandung. "Kakak," panggilnya padaku. Aku melirik seolah bertanya 'kenapa?'. "Sebentar lagi ulang tahun Kasih yang ke delapan," peryataannya membuatku membelalakan mata. Oh ya ampun, aku sampai lupa soal ulang tahunnya.

"Bolehkah Kasih minta sesuatu? Untuk kado," tanya Kasih. Aku dan Danar mengangguk berbarengan.

"Kado apa?" tanya Danar.

"Kue dan es krim," jawab Kasih. Tiba tiba dadaku terasa tertusuk tusuk. Dari mana aku mendapatkan uang untuk membeli kue dan es krim?
Tak berpikir dua kali, aku segera mengangguk cepat. "Nanti kakak belikan. Kakak janji," janjiku membuat senyuman terlukis di wajah Kasih.

Galuh seakan tau pikiranku yang bingung soal uang untuk kado Kasih. Kemudian dia mengajak Kasih pergi jalan jalan ke luar. Tentu saja Kasih tak menolak. Kasih berpamitan pada aku dan Danar. Dia segera pergi keluar digandeng oleh Galuh.

Setelah mereka berdua pergi lumayan jauh, aku segera menghembuskan napas panjang panjang. Begitu pula dengan Danar.
"Mengapa kamu enggak masukan saja Kasih ke panti asuhan? Mungkin dengan itu bisa meringankan bebanmu sedikit. Percayalah di dalam panti asuhan Kasih akan mendapatkan pendidikan yang lebih layak. Dia pasti punya banyak teman di sana," kata Danar.

Idenya yang sinting itu membuatku menatapnya dalam. "Aku adalah satu satunya keluarga kandung Kasih yang tersisa. Ayah dan ibu memberikan tanggung jawab yang besar untukku, termasuk tanggung jawab menjaga Kasih. Aku tidak akan penah meninggalkannya ataupun mengirimnya ke panti. Pegang kata kataku," kataku melawan anjuran dari Danar.

"Aku akan bekerja lebih keras lagi untuk membeli kado Kasih,".

Danar hanya mengangguk. "Aku juga akan bekerja lebih keras lagi. Akan ku bantu untuk membeli kado itu," ucap Danar. Aku akan berterimakasih banyak padanya.

***

KasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang