bab 3

7 1 0
                                    

Aku memutuskan untuk berkeliling di wilayah Kang Aep. Siapa tau akan ada orang yang memerlukan jasa angkut barang. Benar saja, aku melihat seorang wanita yang sedang mengangkut bunga bunga dengan jumlah yang besar. Aku baru tau ada yang menjual bunga di wilayah Kang Aep.

Aku segera berlari ke arahnya dan menawarkan diri. Wanita itu mengangguk senang. "Di antarkan kemana?" tanyaku.

"Ke rumah saya. Apakah kamu keberatan?" tanya wanita itu. Aku meng-oh tanpa suara. Aku bilang padanya kalau aku tidak keberatan sama sekali. Wanita tersebut berjanji akan membayarnya lebih setelah sampai di rumah.

Kami berjalan kaki dari pasar menuju rumah Wanita tersebut. Namanya Bu Dian. Dia adalah seorang pengrajin buket bunga. Bu Dian bilang kalau rumahnya tak jauh dari pasar. Kami berbincang-bincang selama perjalanan. Bu Dian bertanya siapa namaku, kelas berapa, dan tinggal dimana.  Aku bilang padanya kalau aku tidak bersekolah. Bu Dian tidak kaget mendengar hal itu. Dia sudah tau dari bentuk diriku seperti remaja yang menyedihkan. Ditambah lagi remaja yang bekerja sepertiku sudah pasti anak anak yang kekurangan.

Bu Dian juga sempat menanyakan soal Kasih. Aku memberi taunya kalau aku memiliki adik perempuan yang ku rawat sejak kecil. Tanpa adanya orang tua. Bu Dian merasa prihatin soal itu. Dia berjanji akan memberikan beberapa makan ringan di rumahnya untuk di bawa pulang olehku. Bu Dian bahkan menawarkan tempat tinggal di samping rumahnya untuk aku dan Kasih. Namun aku menolak. Aku tidak mau menyusahkan siapa siapa lagi setelah banyak merepotkan Danar, Galuh, dan Kang Aep.

Akhirnya kami sampai di rumah Bu Dian.
"Taruh saja di teras. Saya ke dalam sebentar ya," kata Bu Dian.
Aku mengangguk. Selagi menunggu Bu Dian masuk ke dalam aku memperhatikan rumah tersebut. Rumah yang tak begitu besar tapi terlihat sangat nyaman.

Tak lama kemudian Bu Dian kembali dari dalam rumah. Dia membawa kantong plastik besar yang berisi sesuatu.
"Ini, ambil semuanya," Bu Dian memegang tanganku. Diam diam kedua tangannya yang mulai keriput itu menyimpan selembar uang 50 ribu di atas tanganku.

Aku terkejut. "Besar sekali jumlahnya,".

Bu Dian menggeleng. "Saya berikan uang ini dengan ikhlas. Ibu harap kamu ambil ya," kata Bu Dian sambil tersenyum membuatku ikut tersenyum. Tak hanya uang, ia juga memberikan kantong keresek besar itu padaku. Ternyata, kantong kresek berisi beberapa pakaian dan bahan makanan. Aku sangat sangat berterimakasih pada Bu Dian.

"Kamu adalah anak yang rajin dan jujur. Ibu senang melihatnya. Kalau kamu mau besok kamu bisa bekerja di rumah saya. Membantu membuat buket bunga. Nanti saya ajarkan. Kamu bisa ajak Kasih juga main kemari," kata Bu Dina.

Aku mengangguk angguk setuju. Sebelum pulang ke pos aku berpamitan terlebih dahulu dengar Bu Dina. Ku cium telapak tangannya sebagai tanda menghormati.

Uang pemberian Bu Dian ku taruh di saku celana. Tanganku membawa kantong kresek dengan girang menuju pos.
Sesampainya di pos aku disambut oleh Kang Aep dengan kedua tangan di pinggangnya.

"Dari mana saja kamu?" tanya Kang Aep.

Aku tertawa tanpa sebab membuat Kang Aep kebingungan. Ku goyang goyangkan kantong kresek yang ku bawa, sebagai jawaban untuk pertanyaan Kang Aep. Namun, Kang Aep masih tidak mengerti. Aku berusaha mengeluarkan uang 50 ribu yang ku simpan dalam saku.

"Loh kok tidak ada,".
Aku meraba raba saku celanaku, tapi uang tersebut tak kunjung ketemu.

"Kenapa?" tanya Kang Aep sambil mengangkat alis kanannya.

"Uangku hilang," kataku kecewa.

Bukannya turut prihatin, Kang Aep malah menertawakanku dengan kencang. Aku khawatir orang orang akan memperhatikan kami berdua yang bertindak konyol di depan pasar. Sekarang aku lah yang kebingungan.

"Nak, itu namanya azab. Kemarin kamu berusaha mengambil barang milik orang, sekarang Tuhanlah yang mengambil barang milikmu. Lebih tepatnya dititipkan padamu. Semoga kamu bisa belajar dari musibah ini ya, haha," Kang Aep masih saja percaya kalau aku betul betul mencuri. Sebenernya aku ingin sekali menceritakan yang sebenarnya terjadi tentang 'kerusuhan pasar' yang aku buat beberapa hari lalu. Namun rasanya sia sia. Lagi pula aku sudah tidak peduli mau orang percaya atau tidak.

***

Siang ini aku akan pergi ke rumah Bu Dian. Sebelumya, aku sudah meminta izin kepada Kang Aep bahwa aku akan pulang lebih awal. Dia mengizinkan nya.

Sesampainya di rumah Bu Dian aku di ajarkan cara menyusun bunga bunga untuk di jadikan sebuah buket. Mulai dari menyusun warna warna bunga ataupun menyusun dari ukurannya. Aku berkembang dengan cepat. Dalam satu hari, aku sudah bisa membuat satu buah buket bunga ukuran besar. Dan Bu Dian menyukai nya.

Keesokan harinya aku kembali pergi ke rumah Bu Dian. Saat aku sedang membuat buket bunga, Bu Dian memintaku untuk mengantarkan pesanan buket pada beberapa rumah. Aku mematuhinya.

Aku mencari alat rumah yang sudah di tulis oleh Bu Dian di sebuah robekan kertas. Ada 3 buah buket besar yang ku bawa. Aku mengantarkan pesanan buket nya ke rumah yang tepat. Pemiliki rumahnya memberikan aku sejumlah uang.

Aku melanjutkan perjalanan ke rumah yang kedua. Mataku bolak balik menatap kertas alamat dan sebuah rumah di depanku bergantian. Ini rumahnya. Aku mengetuk pintu rumah beberapa kali. Namun pemilik rumah belum kunjung membuka pintu.
Tak lama kemudian seorang wanita tua muncul di balik pintu yang ia buka.

"Oh, pesanan buket ya. Ini uangnya. Terimakasih ya," sahut wanita itu sembari memberikan uang padaku. Aku juga memberikan buket yang ku pegang padanya.
"Kamu ini anaknya Bu Dian? Setau saya anak laki laki Bu Dian masih kecil," tanya wanita tersebut.

Aku menggeleng. "Bukan, bukan anaknya Bu Dian," kataku.

Wanita itu meng-oh. Kedua matanya menyipit dan melihatku lamat lamat. "Kok saya kayak pernah liat kamu. Dimana ya," wanita itu kembali berbicara sambil terus memperhatikanku.
"Orang mana?" Tanyanya.

"Orang Bandung, pindah ke Jakarta," jawabku sambil tersenyum. Tangan kananku masih menggenggam buket yang tersisa.

"Ohh. Siapa namanya?".

"Samsul Waradhana,".

Wanita itu membelalakan matanya tepat di depan wajahku. Aku jadi ikut kaget.
"Ibumu namanya Ratih kan, hah. Dimana ibumu sekarang?". Tiba tiba wanita di depanku bertanya dengan suara tinggi. Seperti sedang membentak. Darimana dia tau nama ibuku?

"I-iya, namanya Ratih Kusuma. Aku tidak tau dimana ibuku sekarang. Kami tak sengaja terpisah di stasiun. Aku dan adikku tidak pernah melihatnya lagi," kataku menjawab dengan gugup.

Wanita itu terlihat sangat marah. Aku tidak tau apa yang membuatnya geram seperti ini. "Kalian tidak terpisah. Ibumu sengaja menelantarkan kamu dan adikmu karena dia tidak punya uang untuk membiayai kalian,".

Aku tercengang.

"Semenjak suaminya meninggal akulah yang selalu meminjamkan uang padanya untuk menghidupi kamu dan adik kecilmu. Namun dia tidak pernah mengembalikan uangku sepeserpun. Karena dia tidak pernah bekerja. Dia tidak pernah mau bekerja. Kerjaannya hanya main gambling! Perempuan tukang mabuk! Dia menggunakan uang yang ku pinjamkan untuk kedua hal itu. Dasar Ratih Kusuma perempuan tak tau diri!"

Aku tidak mau mendengar apapun.
Aku tidak mau mendengar apapun.

Wanita di hadapanku terus mengeluarkan kata kata buruk pada ibuku. Aku merasa di rendahkan. Aku tidak mau dengar. Aku tidak mau percaya.

Sampai wanita tersebut membanting kembali pintu rumahnya, tubuhku masih membeku. 1000 pertanyaan melintas di pikiranku. Aku berharap aku segera bangun.
Cepat bangun lah!!

Katakan padaku ini hanya mimpi.
Bangun!! Bangun!!

Nyatanya hari ini bukanlah mimpi.
Benarkah ibu melakukan itu semua?

***

KasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang