Biasanya pada malam hari, Jalan Cikapundung berubah menjadi pasar kuliner, ramai oleh pembeli. Namun, hujan siang tadi membuat para pedagang tidak sesibuk malam-malam yang lain.
Hanya beberapa anak muda yang nongkrong di warung tenda sambil menyeruput hangatnya bandrek. Sesekali uap beraroma wangi dari vape yang mereka embuskan, membumbung ke udara, membungkus lampu LED yang tergantung di atas terpal plastik tenda warung. Gumpalan uap vape itu menyebar lambat keluar tenda, menipis pelan, lalu menyatu dengan udara malam.
Pedagang bandrek itu masih beruntung masih ada pembeli yang nongkrong di warungnya. Kios martabak dan kios sate Padang di dekatnya, sama sekali sepi pengunjung.
Komunitas cosplay di pedestrian Asia Afrika yang biasanya ramai berkumpul dengan aneka kostumnya, juga tidak tampak. Hanya tersisa satu orang dengan kostum superhero sedang menghitung-hitung uang dari dalam kotak kardus hasil jasa foto bersama. Hasil yang didapatnya malam ini, tidak seperti yang diharapkan, tampak jelas dari raut wajahnya.
Ah, kalau saja hujan tidak turun dan udara malam tidak sedingin ini, pasti masih banyak orang yang berjalan-jalan menikmati keindahan Bandung di malam hari.
Sementara itu, bel pintu di sebuah kamar hotel bintang empat tidak jauh dari alun-alun Bandung, baru saja berdentang.
Di kamar itu, Aldi Areliano, manajer pemasaran sebuah perusahaan kosmetik yang berkantor pusat di Jakarta, sedang serius membahas masalah pekerjaan dengan rekannya, Doni, yang adalah manajer keuangan.
Sudah tiga hari mereka berdua berada di Bandung, mengunjungi kantor cabang perusahaan di sana. Tugas rutin hampir setiap bulan. Mengecek kondisi cabang dan terkadang meeting dengan beberapa klien penting perusahaan. Malam ini, mereka menyusun ringkasan laporan untuk diserahkan ke kantor lusa.
Aldi menatap Doni dengan heran. Siapa yang malam-malam begini membunyikan bel? Doni dengan sigap membuka pintu kamar dan berbincang sebentar dengan seseorang di depan pintu.
Seorang wanita muda cantik tinggi semampai, berkulit putih mengenakan rok pendek dan baju berkerah rendah, melangkah masuk, mengerlingkan mata sambil tersenyum kepada Aldi.
"Di, gue turun bentar ke bawah, ya," kata Doni. Belum sempat Aldi menjawab, Doni buru-buru keluar meninggalkan Aldi dengan wanita itu.
Wanita itu terlihat memesona dengan rambut panjang yang terurai hingga batas pinggangnya yang ramping. Sedikit bergelombang dan beberapa bagiannya diwarnai dengan warna keemasan. Hidungnya yang mancung dengan alis tebal alami yang hampir bertemu kedua pangkalnya, membuat kecantikannya nyaris sempurna. Aldi menduga wanita ini berdarah blasteran.
Wanita itu tersenyum, langsung duduk di samping Aldi yang mendadak jadi salah tingkah.
Aldi masih berpikir wanita ini punya kepentingan dengan Doni. Jadi, dia mencoba untuk bersikap biasa.
Akan tetapi, wanita itu mencondongkan tubuh ke arah Aldi, membuatnya grogi. Jantungnya berdegup kencang ketika wanita itu berbisik lembut di telinganya.
"Malam, Beb."
Seketika Aldi merasa ada yang tidak beres. Apalagi ketika menyapa, tangan wanita itu menyentuh dan membelai paha Aldi. Dia kaget dan langsung bangkit dari duduknya.
"Mau apa, kamu?" tanyanya heran.
Wanita itu tidak kalah kaget dengan reaksi Aldi.
"Bukannya tadi kamu booking aku?" tanyanya dengan wajah bingung.
"Tadi temanmu udah bayar lunas, katanya kamu butuh teman buat tidur malam ini."
Aldi menggeleng-geleng. Dia paham sekarang, pasti ini ulah Doni.
"Maaf, nggak jadi. Saya tiba-tiba berubah pikiran," tolak Aldi halus. Dia salah tingkah. Aroma parfum wanita itu lembut dan memikat pria mana pun yang menciumnya, termasuk Aldi. Lekas dia menepis godaan yang berkelebat melintas di dalam benaknya.
"Kenapa? Saya kurang cantik? Nggak sesuai sama selera kamu?" tanya wanita itu heran.
"Bukan, saya lagi nggak enak badan. Nanti deh, kapan-kapan kalau butuh, saya minta teman tadi buat contact kamu lagi,"jawab Aldi cepat. Dia berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar lebih kencang.
"Oh. Ya udah kalau gitu." Wanita itu berdiri sedikit kecewa. Meskipun dia sudah mendapatkan bayaran, rugi juga melewatkan pria setampan Aldi ini.
"Kamu yakin?" sekali lagi dia bertanya, masih berharap Aldi berubah pikiran.
Aldi mengangguk cepat, berjalan ke arah pintu dan mempersilakan wanita itu pergi dengan sopan. Dengan cemberut dan kecewa, wanita itu keluar dari kamar hotel. Wangi parfumnya masih tertinggal ketika dia melangkah pergi.
Begitu menutup pintu, Aldi langsung mengambil ponselnya. "Woi, Bangsat! Bercanda lo nggak ngotak!" Aldi memaki di telepon. Terdengar gelak tawa puas Doni di seberang telepon. "Gue kasi ena-ena, malah lo anggurin. Ilang sia-sia deh, duit gue sejuta," katanya terkekeh.
Meskipun sering bercanda, tapi Aldi merasa kali ini Doni benar-benar kelewatan mengerjainya.
Usia Aldi dan Doni memang sepantaran. Mereka baru menginjak tiga puluh tahun. Namun, sifat keduanya bak bumi dan langit. Kecerdasan dan kecakapannya dalam urusan pekerjaan, membuat pimpinan kantor pusat memberi kepercayaan kepada Aldi untuk mengisi posisi setingkat manajer, padahal dia baru bergabung dua tahun yang lalu di perusahaan.
Aldi adalah tipikal family man yang di luar jam kerja lebih sering menghabiskan waktu di rumah bersama keluarga. Dia sering menolak ajakan teman kantor untuk hang out karena bagi Aldi, kebersamaan dengan keluarga jauh lebih penting.
Dengan pesona seperti itu, mudah baginya membuat seorang perempuan jatuh hati. Nyaris tidak ada yang kurang pada diri Aldi. Wajah oke, body lumayan, kerjaan mapan. Namun, Aldi tidak pernah sekali pun mencoba mengkhianati pernikahannya.
Doni cukup akrab dengan Aldi di kantor. Namun, dia adalah lajang yang masih betah menikmati kebebasan. Berkebalikan dengan Aldi, bagi Doni, pernikahan adalah ikatan yang mengekang. Bersenang- senang adalah jalan hidupnya. Nongkrong dan pesta, serta kebiasaannya yang royal, membuatnya mudah disenangi dalam pergaulan. Sering kali tingkah laku Doni terlalu bebas, seperti malam ini. Aldi terus menyumpah-nyumpah di telepon, tapi tawa Doni makin kencang. Akhirnya, Aldi menutup telepon saking kesalnya.
Lima detik berselang, sebuah panggilan video masuk ke ponselnya. Aldi menghela napas dan menenangkan diri sebelum mengangkatnya. Dia tersenyum memandang wajah yang amat dikasihinya itu.
"Udah tidur? Anakmu mau video call, nih, sama ayahnya."
Wajah di layar ponsel itu berubah, menjadi wajah mungil yang tampak habis menangis, "Ayah, kapan pulang?" rajuknya.
Senyum Aldi makin lebar. "Besok, Sayang," janjinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan dalam Cahaya
SpiritualNote: Novel untuk pembaca berusia 18 tahun ke atas. Jalan takdir membawa Cahya memasuki fase hidup yang tak terbayangkan sebelumnya. Dalam pelariannya menyembuhkan luka cinta masa lalu, gadis itu tanpa sengaja memasuki kehidupan rumah tangga Aldi da...