Pelarian

302 54 0
                                    

"Saya pikir, kita tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini. Saya ingin fokus membangun bisnis saya dan takut kamu tidak betah menunggu terlalu lama."

Kenyataan yang tak ingin Cahya hadapi itu pun terjadi.

Semenjak Bapak meminta Azka ke rumah, pria itu memang tidak berani datang lagi ke rumah. Cahya merasakan sikap Azka mulai berubah, tidak lagi sehangat dulu. Chat atau telepon darinya sering diabaikan. Kalaupun dibalas, hanya beberapa kata yang disingkat-singkat.

Sampai akhirnya Azka mengajak Cahya bertemu di kafe tempat biasa mereka nongkrong, dan pernyataan yang membuat hati Cahya berkeping itu muncul.

Azka memang sedang merintis usaha baru untuk yang kesekian kalinya. Beberapa kali dia mencoba berbisnis seperti sablon kaus, jualan liquid vape, crepes, dan entah apa lagi, dan selalu berakhir dengan kegagalan. Berkali-kali pula Cahya mengingatkan agar Azka serius dan serta tidak cepat tergoda mencoba bisnis baru yang terlihat menjanjikan dan membiarkan bisnis yang sedang berjalan menjadi terbengkalai.

Tidak hanya memperingatkan. Cahya selalu membantu apa pun yang dia bisa untuk memastikan bisnis baru Azka tidak kembali berakhir dengan kegagalan.

Kali ini, dia mencoba bisnis apa lagi? pikir Cahya.

Azka meneguk latte yang sudah mulai dingin, membasahi tenggorokannya, dan melanjutkan ucapannya.

"Saya tahu kamu sangat kecewa, tapi kamu berhak mendapatkan lelaki yang lebih baik dari aku, Cahya. Kamu punya mimpi dan aku juga. Tapi, kita tidak bisa mewujudkan impian kita itu bersama. Maaf kalau harus berakhir seperti ini."

Cahya hanya diam. Tidak sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Kesal, marah, sedih,semua bergejolak dalam hatinya. Ingin dia memaki dan menyemburkan sumpah serapah kepada Azka, tapi lidahnya kelu.

Apa yang harus dia katakan kepada Mak dan Bapak? Apa kata teman-temannya nanti? Semua impiannya bersama Azka mendadak hancur berkeping-keping.

Dia memegang cangkir minuman yang masih penuh terisi. Ingin rasanya dia menyiramkan isinya ke wajah Azka, tapi tangannya terasa lemah tidak bisa digerakkan. Lagi pula, dia bukan wanita seberani dan sekasar itu.

Cahya hanya mengelus tangkai cangkir itu dengan ujung jemarinya. Dia juga enggan menatap wajah Azka. Bukan tidak berani, tapi karena terluka. Meskipun dia sudah punya firasat hubungan mereka akan berakhir, tapi ketika itu benar-benar terjadi, dia sungguh tidak siap.

"Kamu yakin?" Cahya bertanya dengan suara bergetar, nyaris tidak terdengar. Dia menyibakkan rambutnya ke belakang telinga, seolah ingin mendengar lebih jelas jawaban Azka.

"Ehm, kamu yakin mau mengakhiri hubungan ini?" Cahya mengulang pertanyaannya dengan agak keras, tapi terdengar masih lirih. "Kalau memang itu keputusanmu dan itu yang terbaik, saya tidak akan memohon kamu mengubah keputusan. Semoga kamu benar-benar sudah memikirkannya sebelum memutuskan dan tidak menyesalinya nanti," lanjut Cahya dengan suara lebih tegas.

Azka hanya membalas dengan anggukan yang terlihat ragu. Sebenarnya dia masih sayang kepada Cahya, tapi dia tidak punya cukup keberanian untuk memperjuangkan Cahya kepada mamanya. Dia lalu berdiri. "Maaf, saya harus pergi sekarang. Ada meeting dengan investor bisnis satu jam lagi. Saya tidak boleh terlambat dan membuat mereka menunggu lama."

Azka mengulurkan tangan ingin menyalami Cahya. Namun, jemari Cahya tidak beranjak dari pegangan cangkir.

"Baiklah. Selamat tinggal. Jaga kesehatanmu, ya."

Azka membuka dompetnya dan meletakkan selembar uang seratus ribuan di atas meja, lalu melangkah pergi. Cahya sebenarnya merasa terhina menatap lembaran kertas merah itu. Namun, dia terlalu malas untuk mencegah Azka meninggalkan uang itu.

Hujan dalam CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang