5

7.6K 821 40
                                    

Setelah membersihkan lantai 1 apartemen Jevano yang memerlukan waktu sekitar 4 jam lamanya, kini Naren memutuskan untuk pergi mengisi perutnya yang meronta-ronta sejak tadi. Namun saat ia membuka lemari es, ia sama sekali tak menemukan satu pun makanan maupun bahan makanan disana.

Membuatnya rela tak rela harus pergi untuk berbelanja beberapa bahan makanan. Perihal uang, tenang saja. Kemarin sesaat setelah ia siuman dari pingsannya yang kedua kalinya. Bu.


Sesampainya di minimarket ia langsung mengambil troli kemudian mendorongnya pelan. “Jen. Menurut lo enak mie kuah apa goreng?”

Sesosok hantu yang tadinya sedang mengamati sekeliling sontak menatap Naren. “Kuah aja kak.”

“Tapi enakan goreng gak sih Jen?” Naren bersuara seraya mengamati dua bungkus mie instan dengan varian berbeda.

“Terserah kak terserah. Orang yang makan kakak bukan aku.” final Jena kesal.

Naren mengangguk setuju. Kemudian mengambil sebanyak 15 bungkus. Jena dibuat syok melihatnya.

“Kakak pengen usus buntu apa gimana. Beli mie sebanyak itu. Kalau Mommy tau bisa dirujak kakak sama Mommy.”

“Ya makanya lo diem-diem aja jangan cepu. Lagian masa gua langsung makan 15 bungkus. Kan nggak.”

Setelahnya Naren berlalu meninggalkan Jena yang menatapnya tak percaya.

“Ngeselin banget. Awas aja aku aduin sama Kak Jeva.”

Jena kembali melayang. Menyusul langkah Naren yang berhenti di rak sayuran. Berdiri disebelah suami sang kakak. Mengamati banyaknya jenis sayuran didepannya.

“Mending mah beli sayur kak. Sehat. Beli mie instan banyak-banyak mah sama aja pengen cepet deket sama Tuhan.” tutur Jena tentang pendapatnya.

Terkadang Jena sempat berpikir. Ia yang sudah tidak ada saja selalu berharap bisa hidup kembali. Lantas mengapa orang-orang yang hidup berlomba-lomba untuk mati. Apakah mereka berpikir, jika sudah mati semua masalah akan lenyap? Oh tentu tidak.

“Nah terus kan. Sayuran itu banyak jenisnya dan banyak manfaatnya. Pasti kakak gak nyesel sering-sering makan sayur.” Jena terus saja mengoceh. Sampai tak menyadari jika Naren tak lagi berada disebelahnya.

“Jadi kakak mau beli sayur apa? Aku saranin mending—LOH KAK?” Jena berteriak kesal lantaran malah menemukan Naren yang berdiri didepan lemari pendingin.

“Apasih Jen. Berisik. Mending kamu pergi deh, jangan ganggu kakak.” Naren berucap dengan lirih, takut jika orang-orang menganggapnya gila karena berbicara sendiri di tempat umum.

“Kakak gak jadi beli sayur?”

“Siapa yang mau beli sayur? Gue cuma lihat-lihat, gue mana doyan sayur.”

Kedua tangannya kini sudah masing-masing memegang  bungkusan yang berisi daging sapi. Ia memilih yang paling segar dan memasukkannya kedalam troli.

Naren juga tampak memilih beberapa daging ayam serta ikan yang tersedia disana. Memilih beberapa dan kembali mendorong trolinya menjauhi lemari pendingin. Lagi-lagi meninggalkan Jena yang menatapnya bingung, namun kali ini dengan perasaan kesal menyertai.

“Punya kakak ipar ngeselin banget.”

Meski berkata demikian, ia masihlah senantiasa mengikuti pemuda yang berstatus suami kakaknya. Sesaat setelahnya ia melotot melihat troli Naren yang awalnya hanya terisi seperempat bagiannya, kini menjadi penuh.

Dijodohkan - Nomin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang