Negosiasi

4 2 0
                                    

"Hai," begitu katanya lagi. Dia melambaikan tangan.

Aku masih diam di tempat, seperti patung, seperti orang yang sudah tidak punya akal pikiran. Sejujurnya, aku tidak tahu harus melakukan apa, bahkan mulutku hanya bisa bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara.

Seseorang atau mungkin makhluk aneh itu, membuka mulut. Dari mulut tipisnya, keluar kata-kata yang tidak aku mengerti.

Dia seperti teringat sesuatu. Lalu tangannya menyelusup di antara suket teki, mencari-cari sesuatu.

"Ah," dia menepuk kening. Dia mengambil sebuah tongkat runcing dari balik lengan baju. Tongkat itu tak lebih besar dari ranting pohon. Ujung tongkat di letakan di kerongkongan. Ada pedar berwarna putih keluar dari ujung tongkat.

"Hai, hai, tes, tes, namamu siapa?" Wanita berambut pirang dan acak-acakan itu, memegang dadanya. Dia terbatuk. Kemudian dia bertanya kepadaku, "Apa sekarang kamu mengerti ucapanku?"

Aku mengangguk.

"Syukurlah, aku tidak melupakan mantra itu."

Mantra? Mataku membelalak? Apa ini? Apa aku sedang bermimpi? Apakah dia penyihir yang sering kubaca di buku cerita?

"Siapa namamu?" tanyanya kepadaku.

"N-n-n-nara."

"Nara? Hanya Nara?"

Aku mengangguk. Nara. Namaku Nara. Tidak ada nama depan atau belakang. Hanya Nara.

"Halo Nara, senang bertemu denganmu." Si Penyihir menjulurkan tangan. Dia akan berdiri, tapi tiba-tiba merintih kesakitan. Tangannya memegang pergelangan kaki. Kurasa, seorang penyihir bisa keseleo juga.

"A-a-pa kamu tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa? Bagaimana ini tidak apa-apa?! Apa kamu tidak melihat aku kesakitan?!" sungutnya.

Penyihir ini pasti punya masalah di pengendalian emosi.

"Kamu tidak ingin menolongku?" tanyanya.

Aku diam. Aku masih bimbang, apakah harus menolongnya? Ataukah melaporkannya? Ataukah meninggalkannya seperti tidak terjadi apa-apa?

"Wah, kamu sangat jahat!"

Keningku berkerut.

"Lihat saja ekspresimu! Seolah-olah akan meninggalkanku sendiri!"

Aku tersenyum. Entah kenapa, aku merasa sediki lega. Ketakutan juga berangsur hilang. Barangkali ini karena cara bicaranya yang ceplas-ceplos. Aku berjalan mendekatinya. Dan berhenti tepat lima langkah sebelum tangannya menggapai kakiku.

"Aku tidak akan menyakitimu. Cepatlah ke sini! Bantu aku berjalan dan sihir kakiku lagi untuk tidak keseleo. Ah... apakah ada penyihir di sini?"

Tentu saja tidak ada. Ini Kecamatan Seroja, bagian dari Indonesia. Mencari penyihir tidak ada di sini. Tapi kalau mencari dukun santet, masih banyak berkeliaran. Dan kukira dukun santet tidak akan bisa menyembuhkan kaki keseleo.

"Bagaimana aku menjamin kamu tidak akan melakukan apa pun kepadaku?" tanyaku.

Si Penyihir menarik napas panjang. "Kalau aku serahkan tongkat sihirku, maukah kamu percaya?"

Tanpa berpikir panjang, aku mengulurkan tangan. Si Penyihir terlihat tidak percaya dengan reaksiku. Dia pun mengeluarkan tongkat dari dalam lengan jubahnya. Dengan berat hati, dia memberikan tongkat itu.

Tongkat itu sehitam arang. Permukaannya halus. Ada gambar naga melingkar di bagian bawahnya.

Aku ingin mengayunkan tongkat itu, tapi si Penyihir memekik.

Sihir Tring Tring (Trailer Book)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang